BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kubis
(Brassica oleracea var. capitata L.) merupakan salah satu sayuran
penting, terutama di dataran tinggi. Sejak awal tahun ’70-an kubis juga ditanam
di beberapa daerah dataran rendah, seperti di daerah Yogyakarta, Klaten, dan
Jember. Kubis varietas KK Cross (Subhan 1989; Permadi & Djuariah 1992) dan
Green Baru (Suryadi & Permadi 1998) dapat beradaptasi dengan baik dan
mempunyai hasil krop tinggi dengan umur genjah, cocok untuk dikembangkan di
dataran rendah dan dataran medium. Tanaman kubis-kubisan lainnya yang penting
adalah petsai, kubis bunga, dan brokoli.
Menurut
laporan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura (1999), luas panen
kubis di Indonesia dalam tahun 1998 adalah 65.974 hektar dengan total produksi
1.383.398 ton. Sejak lima tahun terakhir (1994-1998), rata-rata hasil panen
atau produktivitas kubis relatif konstan, yaitu sekitar 21 t/ ha. Nilai ini
masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas kubis
di daerah subtropik seperti di Jerman (37,6 t/ha), Nederland (49,3 t/ha), dan
Amerika Serikat (23 t/ha) (Nieuwhof 1969). Hal itu antara lain disebabkan oleh
(Permadi 1993) : (1) seleksi varietas-varietas impor yang dilakukan di daerah
subtropik, (2) masa pertumbuhan tiap hari di daerah subtropik lebih lama
daripada masa pertumbuhannya di Indonesia (16-18 jam penyinaran setiap harinya
di daerah subtropik), dan (3) adanya gangguan hama/penyakit yang dapat
menggagalkan panen kubis (Sastrosiswojo 1994).
Kubis
mempunyai arti ekonomi yang penting sebagai sumber pendapatan petani dan sumber
gizi (vitamin A dan C) bagi masyarakat. Jika rata-rata pemilikan lahan petani
sekitar 0,4 hektar, maka ada sekitar 165.000 petani terlibat dalam usahatani
kubis, belum termasuk petani kubis-kubisan lainnya. Oleh karena itu upaya untuk
meningkatkan produksi kubis dan kubis-kubisan lainnya perlu dilakukan.
Dalam
upaya mengatasi masalah hama/penyakit tanaman kubis, pada umumnya para petani
menekankan pada pengendalian secara kimiawi. Menurut laporan Woodford et al.
(1981), biaya penggunaan pestisida pada tanaman kubis yang dilakukan oleh
petani di Kabupaten Bandung adalah sebesar 30% dari total biaya produksi.
Umumnya pestisida digunakan secara intensif, baik secara tunggal maupun
campuran dari beberapa jenis pestisida, dengan konsentrasi penyemprotan
melebihi rekomendasi dan interval penyemprotan yang pendek, 1-2 kali/minggu
(Sastrosiswojo 1987). Dampak negatif yang timbul sebagai akibat penggunaan
pestisida yang intensif tersebut antara lain adalah : (1) hama ulat daun kubis
(Plutella xylostella L.) menjadi resisten terhadap beberapa jenis
insektisida kimia dan mikroba (Sastrosiswojo et al. 1989; Setiawati
1996), (2) resurgensi hama P. xylostella terhadap Asefat, Permetrin dan
Kuinalfos (Sastrosiswojo 1988), (3) residu pestisida yang dapat membahayakan
konsumen kubis (Soeriaatmadja & Sastrosiswojo 1988), dan (4) terganggunya
kehidupan dan peranan parasitoid Diadegma semiclausum sebagai musuh
alami penting hama P. xylostella (Sastrosiswojo 1987).
Untuk
mengatasi masalah tersebut di atas, konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
bertujuan membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin, tetapi sasaran
kualitas dan kuantitas produksi kubis masih dapat dicapai.
Klasifikasi
Tanaman Kubis
Kingdom : Plantae
(Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta
(Tumbuhan berpembuluh)
Super
Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub
Kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Brassicaceae (suku sawi-sawian)
Genus : Brassica
Spesies : Brassica oleracea var. capitata L.
1.2 Rumusan Masalah
·
Apa itu tanaman kubis ?
·
Hama dan penyakit apa yang menyerang
tanaman kubis ?
·
Bagaimana penggunaan musuh alami untuk
hama dan penyakit pada tanaman kubis ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Hama Dan Penyakit Penting pada Tanaman Kubis
2.1.1 Ulat tanah, Agrotis
ipsilon (Lepidoptera:Noctuidae)
a.
Morfologi dan biologi serangga dewasa (Sujud & Emka 1974; Kalshoven 1981)
Sayap
depan ngengat berwarna coklat, sedangkan sayap belakang berwarna putih dengan
tepi coklat keabu-abuan. Panjang sayap terentang 40-50 mm. Panjang tubuh
sekitar 2,2 mm. Ngengat mampu hidup sekitar 10-20 hari. Ngengat aktif pada
senja/malam hari. Nisbah kelamin betina dengan jantan adalah 1:1.
•
Telur
Bentuk
telur bulat panjang dengan garis tengah kira-kira 0,5 mm. Warnanya putih-krem,
kemudian berubah menjadi kuning kemerahan dan sebelum menetas berwarna
kehitam-hitaman. Telur diletakkan pada pangkal tanaman muda gulma di sekitar
tanaman inang. Jumlah telur tiap betina 500-2.500 butir, yang menetas dalam
waktu sekitar enam hari.
•
Larva
Stadium
larva terdiri atas empat sampai lima instar. Larva instar pertama berwarna
kuning sampai kelabu kekuning-kuningan. Kepala, pronotum, dan ujung abdomen
berwarna hitam. Larva dewasa berwarna coklat tua sampai coklat kehitam-hitaman,
biasanya dengan garis coklat pada dua sisi tubuh dan bercak berwarna coklat
muda pada sisi dorsal. Tubuh larva selalu tampak berkilau. Panjang larva tua
sekitar 30-35 mm. Larva aktif pada senja dan malam hari. Pada siang hari, larva
bersembunyi di permukaan tanah di sekitar batang tanaman muda, pada celah-celah
atau bongkahan tanah kering. Pada saat istirahat, posisi tubuh larva sering
melingkar. Ulat tanah dapat berpindah-pindah sampai sejauh 20 m. Masa larva
lamanya 18 hari. Larva tua bersifat kanibalistik (saling membunuh).
•
Pupa Pupa berwarna coklat terang berkilau atau coklat gelap, berada beberapa
sentimeter di
bawah
permukaan tanah. Panjang pupa kira-kira 20-30 mm. Tempat terbentuknya pupa
mempunyai hubungan dengan keadaan air dalam tanah. Semakin kering keadaan
tanah, semakin dalam letak pembentukan pupa. Lamanya pembentukan pupa tidak
terpengaruh oleh keadaan kelembaban tanah. Masa pupa lamanya lima sampai enam
hari.
•
Daur hidup
Daur
hidup Agrotis ipsilon dari telur sampai dewasa sekitar 36-42 hari.
Lamanya daur hidup Agrotis ipsilon tergantung pada tinggi rendahnya suhu
udara, semakin rendah suhu udara semakin lama daur hidupnya dan sebaliknya
(Kalshoven 1981).
b.
Daerah sebar dan ekologi
Agrotis
ipsilon dilaporkan terdapat di seluruh negara Asia, termasuk
di Indonesia, yaitu pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi. Populasi larva
biasanya meningkat pada awal musim kemarau (Maret-April) di dataran tinggi. Di
musim hujan, umumnya populasi larva rendah (Kalshoven 1981). Puncak populasi
larva terjadi pada pertengahan bulan Juni. Pada saat tersebut bisanya banyak
sayuran muda yang ditanam petani, sehingga serangan A. ipsilon secara
ekonomis mempunyai arti yang penting (Sujud & Emka 1974).
c.
Tanaman inang dan gejala kerusakan
Inang
utama ulat tanah adalah tanaman sayuran muda seperti tomat, kubis, petsai,
kacang merah, kentang, cabai, dan bawang. Selain itu, ulat tanah juga menyerang
tanaman muda jagung, tembakau, kapas, ubi jalar, tebu, teh, kopi, rosela,
rerumputan, padi gogo, dan serealia lainnya (Kalshoven 1981).
Ulat
tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau pada tanaman muda. Tanda serangan
pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal batang atau tanaman kubis
sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan berat (Gambar 1).
Larva dewasa kadang-kadang membawa potongan-potongan tanaman ke tempat
persembunyiannya. Kerusakan berat pada pertanaman kubis muda kadang-kadang
terjadi di awal musim kemarau. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan Agrotis
ipsilon pada pertanaman kubis muda dapat mencapai 75-90% dari seluruh bibit
kubis yang ditanam (Sastrosiswojo 1982).
Pengendalian
hayati menggunakan hama pesaing yaitu
nematoda entomogenus
2.1.2. Ulat daun kubis, Plutella
xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae)
a.
Morfologi dan biologi
Serangga
dewasa berupa ngengat kecil, kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu,
dan aktif pada malam hari. Pada sayap depan terdapat tiga buah lekukan
(undulasi) yang berwarna putih menyerupai berlian (bahasa Inggris diamond).
Oleh sebab itu serangga ini dalam bahasa Inggris disebut diamondback moth.
Ngengat P. xylostella tidak kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh
angin. Menurut Harcourt (1954), pada saat tidak m ada angin, ngengat jarang
terbang lebih tinggi dari 1,5 m di atas permukaan tanah. Jarak terbang
horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa hidup) ngengat betina rata-rata 20,3
hari (Vos 1953). Ngengat betina kawin hanya satu kali (Harcourt 1957).
•
Telur
Telur
berbentuk telur oval, ukurannya 0,6 mm x 0,3 mm, warnanya kuning, berkilau dan
lembek. Ngengat betina meletakkan telur secara tunggal atau dalam kelompok
kecil (tiga atau empat butir), atau dalam gugusan (10-20 butir) di sekitar
tulang daun pada permukaan daun kubis sebelah bawah (Vos 1953). Ngengat betina
bertelur selama 19 hari dan jumlah telur rata-rata sebanyak 244 butir. Lama
stadium telur tiga hari (Vos 1953).
•
Larva
Larva
berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak berbulu,, dan mempunyai
lima pasang proleg (Harcourt 1954). Larva P. xylostella terdiri
atas empat instar (Vos 1953; Harcourt 1957). Panjang larva dewasa (instar ke-3
dan 4) kira-kira 1 cm. Larva lincah dan jika tersentuh akan menjatuhkan diri
serta menggantungkan diri dengan benang halus. Larva jantan dapat dibedakan
dari larva betina karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning
(Sastrosiswojo 1987). Rata-rata lamanya stadium larva instar kesatu 3,7 hari,
larva instar kedua 2,1 hari, larva instar ketiga 2,7 hari, dan larva instar
keempat 3,7 hari (Vos 1953).
•
Prapupa dan pupa
Antara
larva instar ke-4 dengan prapupa tidak terjadi pergantian kulit (Harcourt
1954). Panjang pupa rata-rata 6,3-7,0 mm dan lebarnya 1,5 mm (Harcourt 1954).
Pupa P. xylostella dibungkus kokon (jala sutera) dan diletakkan pada
permukaan bagian bawah daun kubis. Menurut Vos (1953), lamanya stadium pupa
rata-rata 6,3 hari.
•
Daur hidup
Lamanya
daur hidup P. xylostella di Segunung (Pacet) pada suhu 16-25 oC
rata-rata 21,5 hari (Vos 1953). Menurut Sastrosiswojo (1987), daur hidup P.
xylostella di KP Margahayu (Lembang) pada suhu 15,5-20,6 oC
rata-rata 22 hari (Gambar 2).
Gambar
2. P. xylostella (Foto : Tonny K. Moekasan)
|
b.
Daerah sebar dan ekologi
Hama
ini bersifat kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat ditemukan di
pertanaman kubis di dataran tinggi, pegunungan, atau perbukitan. Namun, karena
akhir-akhir ini kubis juga ditanam di dataran rendah, Plutella xylostella juga
dapat ditemukan pada pertanaman kubis di dataran rendah. Faktor iklim (curah
hujan) dapat mempengaruhi populasi larva P. xylostella. Kematian larva
akibat curah hujan lebih banyak terjadi pada larva muda, yakni larva instar
ke-1 dan larva instar ke-2 daripada larva instar ke-3 dan larva instar ke-4.
Oleh karena itu, umumnya populasi larva P. xylostella tinggi di musim
kemarau (bulan April sampai dengan Oktober) atau apabila keadaan cuaca kering
selama beberapa minggu. Populasi larva yang tinggi terjadi setelah kubis
berumur enam sampai delapan minggu (Sudarwohadi 1975).
Hama
Plutella xylostella juga dapat menyerang tanaman kubis yang sedang
membentuk krop sampai panen. Keadaan ini dapat terjadi jika (Sastrosiswojo
1987) :
(1)
populasi musuh alaminya, yaitu parasitoid Diadegma semiclausum rendah;
(2)
tidak ada hama pesaing yang penting, yaitu ulat krop kubis (C. binotalis);
(3) hama Plutella xylostella telah resisten terhadap
insektisida yang digunakan; dan
(4)
populasi larva Plutella. xylostella sangat tinggi.
Keadaan
demikian menyebabkan hama Plutella xylostella dapat merusak krop kubis
sehingga menggagalkan panen, karena kerusakan yang ditimbulkan bersama-sama
hama C. binotalis. dapat mencapai 100% (Sudarwohadi 1975).
c.
Tanaman inang dan gejala kerusakan
Plutella
xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih
dan jenis kubis lainnya seperti kubis merah, petsai, kubis bunga, kaelan,
selada air, sawi jabung, radis, turnip, dan lain-lain. Selain itu, gulma
kubis-kubisan yang juga dapat menjadi inang P. xylostella adalah Capsella
bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine hirsuta (rumput
selada pahit berbulu), Brassica pachypoda, Nasturtium officinale, dan
Lepidium sp. (Sastrosiswojo 1987).
Biasanya
hama P. xylostella merusak tanaman kubis muda. Meskipun demikian hama P.
xylostella seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop
jika tidak terdapat hama pesaingnya, yaitu C. binotalis. Larva P.
xylostella instar ketiga dan keempat makan permukaan bawah daun kubis dan
meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun membesar,
lapisan epidermis pecah, sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingkat
populasi larva tinggi, akan terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis,
sehingga yang tinggal hanya tulang-tulang daun kubis (Gambar 3). Serangan P.
xylostella yang berat pada tanaman kubis dapat menggagalkan panen
(Sastrosiswojo 1987).
Gambar
3. Gejala serangan hama P. xylostella pada tanaman kubis (Foto : Tonny
K. Moekasan)
2.1.3. Ulat krop
kubis, Crocidolomia binotalis (Lepidoptera : Pyralidae)
a.
Morfologi dan biologi (Oever 1973; Sastrosiswojo & Setiawati 1992)
•
Serangga dewasa
Pada
Crocidolomia binotalis dewasa berwarna hitam, sedangkan perutnya
berwarna coklat kemerahan, panjang tubuhnya kira-kira 1,1 cm. Ngengat aktif
pada malam hari. Sayap depan ngengat jantan mempunyai rumbai dari rambut halus
yang berwarna gelap pada bagian tepi-depan (anterior). Panjang tubuh rata-rata
untuk serangga jantan 10,4 mm dan serangga betina 9,6 mm.
•
Telur
diletakkan
dalam kelompok menyerupai genting-genting rumah dan berwarna hijau muda.
Kelompok telur dapat ditemukan pada permukaan bawah daun, di tepi daun, atau di
dekat tulang daun. Jumlah telur rata-rata 48 butir dan ukurannya 2,6 mm dan 4,3
mm. Masa telur tiga sampai enam hari dan rata-rata empat hari.
•
Larva
Larva
berwarna hijau muda kecoklatan dan terdiri atas lima instar. Pada bagian sisi
dan bagian atas tubuh larva terdapat garis-garis putih sepanjang tubuhnya.
Larva muda bergerombol pada permukaan bawah daun kubis. Larva “tua” (instar
ke-4 dan ke-5) panjangnya kira-kira 2 cm, bersifat malas, dan selalu
menghindari cahaya matahari. Masa larva 11-17 hari dengan rata-rata 14 hari
pada suhu udara 26-33,2 oC.
•
Pupa
Biasanya
pembentukan pupa terjadi pada permukaan tanah. Pupa berwarna kuning kecoklatan
dan berukuran lebar 3 mm serta panjang 10 mm. Masa pupa 9-13 hari dan rata-rata
10 hari pada suhu udara 26-33 oC.
• Daur hidup Dalam kondisi laboratorium, (suhu 16-22,5 oC dan
kelembaban 60-80%), lamanya daur hidup Crocidolomia. binotalis adalah
30-41 hari (Gambar 4).
Gambar
4. Crocidolomia binotalis (Foto : Tonny K. Moekasan)
b.
Daerah sebar dan ekologi
Crocidolomia
binotalis umum dijumpai pada pertanaman kubis, baik yang
diusahakan maupun pada tanaman kubis liar. Di pulau Jawa, C. binotalis dijumpai
menyerang kubis, baik di perbukitan maupun di dataran rendah. C. binotalis merupakan
hama utama kedua setelah P. xylostella pada tanaman kubis. Dua jenis
hama tersebut seringkali didapatkan saling bergantian menempati kedudukan sebagai
hama utama pada tanaman kubis. Daerah sebar C. binotalis dilaporkan di
Asia Selatan dan Asia Tenggara, Australia, Afrika Selatan, Tanzania, dan
kepulauan Pasifik (Kalshoven 1981).
Menurut
hasil penelitian Oever (1973), Sudarwohadi (1975), dan Thayib (1983) di KP
Segunung, puncak populasi telur terjadi pada bulan Februari, Mei dan
Juli-Agustus. Puncak populasi larva terjadi pada bulan Maret, Juni dan Agustus.
Hal ini menunjukkan adanya korelasi negatif antara populasi larva C.
binotalis dengan tinggi/rendahnya curah hujan. Pada tanaman kubis, populasi
larva meningkat mulai dua minggu setelah tanam dan mencapai puncaknya pada umur
enam sampai delapan minggu setelah tanam lalu menurun sampai saat panen kubis.
c.
Tanaman inang dan gejala kerusakan
Tanaman
inang C. binotalis adalah berbagai jenis kubis seperti kubis putih,
kubis bunga, petsai, brokoli, dan lain-lainnya. Selain itu tanaman turnip,
radis, sawi jabung, dan selada air juga merupakan inang C. binotalis (Sastrosiswojo
1987).
Gejala
serangan Crocidolomia. binotalis pada tanaman kubis (Foto : Tonny K.
Moekasan)
sampai
ke-5 memencar dan menyerang pucuk tanaman kubis, sehingga menghancurkan titik
tumbuh. Akibatnya, tanaman mati atau batang kubis membentuk cabang dan beberapa
krop berukuran kecil (Sastrosiswojo 1987). Serangan hama C. binotalis pada
tanaman kubis yang sudah membentuk krop akan menghancurkan krop atau menurunkan
kualitas krop, sehingga kubis tidak laku dijual (Gambar 5).
2.1.4. Penyakit tepung berbulu
Penyakit
ini umumnya terdapat pada tanaman sayuran muda seperti sawi jabung, turnip,
radis, kubis, dan kubis bunga (Singh 1980; Semangun 1989). Penyakit ini
tersebar luas di berbagai negara penanam kubis dan jenis kubis-kubisan lainnya
(Cruciferae) seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina
(Semangun 1989). Di Indonesia, penyakit ini mulai diketahui dan diperhatikan
sejak tahun 1974 (Harmidi & Wijorini 1976 dalam Semangun 1989).
a.
Penyebab penyakit
Penyakit
tepung berbulu disebabkan oleh jamur Peronospora parasitica Pers.ex.Fr.
(Singh 1980; Semangun 1989), yang membentuk konidiofor melalui mulut kulit
(stomata), bercabang-cabang dikotom enam sampai delapan kali, sehingga
keseluruhannya mirip dengan pohon dan tingginya 100-300 μm (mikron). Konidium
berbentuk jorong atau bulat telur, hialin, dengan ukuran (24-27) μm (mikron).
Konidium berbentuk jorong atau bulat telur, hiralin, dengan ukuran (24-27) μm x
(15 x 20) μm. Konidium mudah lepas dan berkecambah dengan membentuk pembuluh
kecambah.
Menurut
Semangun (1989), di negara-negara lain P. parasitica membentuk oospora
di dalam jaringan tumbuhan. Oogonium bulat dan hialin serta dibuahi oleh satu
anteridium. Oospora bulat, dengan garis tengah 26-43 μm, terbungkus oleh
lipatan-lipatan berbincul-bincul.
Oospora
berkecambah dengan membentuk pembuluh kecambah. Adanya oospora jamur ini di
Indonesia belum pernah dilaporkan.
P.
parasitica adalah parasit obligat. Miseliumnya
hanya berkembang di sela-sela sel dan membentuk haustorium yang masuk ke dalam
rongga sel. Haustorium berbentuk gada atau berbentuk jari, bercabang-cabang,
kadang-kadang sangat besar, sehingga hampir memenuhi rongga sel. Jamur ini
mempunyai tanaman kubis dan kubis bunga, dan ada yang hanya menginfeksi petsai
(Semangun 1989; Singh 1980).
b.
Daur hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit tepung berbulu
Menurut
Semangun (1989), kemungkinan besar jamur ini dapat bertahan dari musim ke musim
di Indonesia karena selalu terdapat tanaman kubis dan kubis bunga di lapangan.
Ras yang dapat menyerang kubis mempunyai sifat yang agak khusus, sehingga
mungkin tidak dapat bertahan pada tumbuhan lain. Di negara-negara lain, P.
parasitica terutama bertahan dalam bentuk oospora dalam sisa-sisa tanaman
sakit di dalam tanah. Selain itu biji kubis dapat terkontaminasi dan dapat menularkan
penyakit ke persemaian. Di persemaian atau di pertanaman kubis, konidium
dipencarkan oleh angin.
Penyakit
tepung berbulu sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Penyakit ini berkembang
paling baik pada suhu 10-15 oC, pada cuaca mendung atau di tempat yang
teduh, sehingga embun terdapat sepanjang hari (Walker 1952). Penyakit ini lebih
banyak terdapat di persemaian. Namun, agar berbeda dengan penyakit tepung
berbulu pada umumnya, daun tua ternyata lebih rentan terhadap penyakit ini
(Semangun 1989).
c.
Gejala penyakit dan akibat serangan
Menurut
Semangun (1989) dan Singh (1980), penyakit tepung berbulu terutama timbul di
persemaian, meskipun kadang-kadang juga terdapat pada tanaman di lapangan.
Penyakit ini dicirikan oleh adanya bercak bercak yang berwarna coklat-keunguan
pada permukaan bawah daun. Dari sisi atas daun terlihat bahwa jaringan di
antara tulang-tulang daun menguning, mirip dengan gejala yang terjadi karena
kekurangan unsur hara tertentu. Selanjutnya bagian yang menguning berubah
menjadi coklat-ungu dan tekstur daun menjadi seperti kertas, daun-daun bawah
dapat rontok. Pada permukaan bawah daun terdapat kapang putih seperti tepung.
2.1.5. Penyakit akar pekuk (akar
gada)
Penyakit
akar pekuk (akar gada, akar bengkak atau dalam bahasa Inggris clubroot)
untuk pertama kali diketahui di Indonesia pada tahun 1975 (Suhardi et al. 1976).
Pada tahun 1975 dan 1976, daerah pencar penyakit ini masih terbatas di sekitar
Lembang, Bandung. Namun pada tahun 1979, penyakit ini sudah terdapat di seluruh
Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1993 dan 1994 dilaporkan bahwa daerah pencar
penyakit akar pekuk sudah meluas di pusat produksi tanaman kubis di Provinsi
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan
(Djatnika 1993; Mudjiono & Nurimah 1994). Penyakit ini terdapat pula di
banyak negara seperti di Rusia, Malaysia, Filipina, Inggris, Jerman, Amerika
Serikat, dan Afrika Selatan (Semangun 1989; Djatnika 1993).
Penyakit
akar pekuk dapat menyerang bermacam tumbuhan dari familia Cruciferae, baik
tanaman pertanian maupun tanaman liar. Kerugian yang ditimbulkannya dapat
sangat besar, karena pertanaman sama sekali tidak memberikan hasil yang dapat
dijual (Semangun 1989). Di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika
Selatan, kerusakan pada tanaman dari familia Cruciferae yang diakibatkan oleh
penyakit akar pekuk berkisar antara 50-100%. Di Indonesia, kerugiannya ditaksir
mencapai Rp. 2,8 milyar setiap musim (Djatnika 1993).
a.
Penyebab penyakit
Menurut
Semangun (1989) dan Djatnika (1993), penyakit ini disebabkan oleh jamur Plasmodiophora
brassicae Wor. yang termasuk klas jamur lendir. Jamur membentuk spora tahan
yang berbentuk bulat, hialin, dan garis tengahnya dapat mencapai 4 μm. Spora
tahan ini dapat berkecambah dalam medium yang sesuai, membengkak sampai
mencapai ukuran beberapa kali dari ukuran semula, dan biasanya menjadi satu
spora kembara (zoospora). Spora kembara ini telanjang (tidak berdinding sel),
merupakan protoplas berinti satu, biasanya sangat aktif dan bergerak seperti
amuba. Spora kembara mempunyai dua bulu cambuk (flagellum), yang satu panjang
dan satunya lagi pendek.
Sampai
sekarang belum diketahui pasti dengan cara bagaimana infeksi terjadi (Semangun
1989). Di dalam akar tanaman, badan jamur yang disebut plasmodium selalu berada
di dalam sel tumbuhan inang. Plasmodium mempunyai beberapa inti sampai banyak
inti, tidak pernah mempunyai dinding sendiri, dan tidak pernah membentuk di
sekitar inti, dan terbentuklah spora tahan yang bebas satu sama lain. Mereka
ini ditahan oleh dinding sel sampai dinding sel terurai oleh jasad sekunder di
dalam tanah (Walker 1952).
b.
Daur hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit akar pekuk
Menurut
Semangun (1989), spora tahan akan terbebas dari akar sakit jika akar ini
terurai oleh jasad-jasad sekunder. Spora ini dapat segera tumbuh, tetapi dapat
juga bertahan sangat lama. Sampai sekarang tidak ada bukti bahwa jamur dapat
hidup sebagai saprofit dalam tanah tetapi tanah tetap terinfeksi oleh jamur
selama 10 tahun atau lebih, meskipun di situ tidak terdapat tumbuhan inang.
Penyebab
penyakit ini dapat tersebar setempat oleh air drainase, alat-alat pertanian,
tanah yang tertiup angin, hewan, dan bibit-bibit. Menurut Suryaningsih (1981),
pupuk kandang dapat menyebarkan penyakit ini, karena sisa-sisa kubis biasanya
dipakai petani untuk
c.
Gejala penyakit dan akibat serangan
Menurut
laporan Djatnika (1993), tanaman kubis yang terserang oleh P.brassicae akan
jelas terlihat pada keadaan cuaca panas atau siang hari yang terik, yaitu
daun-daunnya layu seperti kekurangan air. Namun, pada malam hari atau pagi
hari akan menjadi segar kembali. Lambat laun pertumbuhan tanaman terhambat
hingga kerdil dan tanaman kubis tidak dapat membentuk krop dan akhirnya mati
(Gambar 6).
Gambar 6. Gejala visual serangan
penyakit akar pekuk pada tanaman kubis (Foto : S.Sastrosiswojo)
|
Akar-akar
yang terinfeksi jamur penyebab penyakit ini akan mengadakan reaksi dengan pembelahan
dan pembesaran sel, yang menyebabkan terjadinya bintil atau kelenjar yang tidak
teratur. Seterusnya bintil-bintil ini bersatu, sehingga menjadi bengkakan
memanjang yang mirip dengan batang atau gada (Semangun 1989; Djatnika 1993).
Rusaknya
susunan jaringan akar menyebabkan rusaknya jaringan pengangkut, sehingga
pengangkutan air dan hara tanah terganggu. Tanaman tampak merana, daun-daun
berwarna hijau kelabu, dan lebih cepat menjadi layu daripada daun-daun sehat.
Meskipun demikian, dalam banyak kejadian akar-akar sudah sangat rusak pada saat
gejala pada bagian di atas tanah mulai tampak (Semangun 1989). Dalam lingkungan
yang basah, akar-akar akan diserang oleh jasad-jasad sekunder, sehingga akar
atau seluruh sistem perakaran busuk sama sekali (Suhardi et al. 1976).
2.1.6.
Busuk basah
Busuk
basah atau busuk lunak (soft rot) adalah penyakit yang merugikan pada
tanaman sayuran, termasuk kubis dan kerabatnya, baik di lapangan maupun di
dalam penyimpanan serta pengangkutan sebagai penyakit pascapanen (Semangun
1989; Djatnika 1993). Penyakit ini tersebar umum di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Busuk basah merupakan penyakit yang penting di Indonesia, Malaysia,
Thailand, dan Filipina.
a. Penyebab penyakit
Penyakit
ini disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora pv. carotovora (Jones)
Dye, 1978, yang dahulu lazim disebut sebagai Erwinia carotovora (Jones)
Holland (Semangun 1989; Djatnika 1993). Bakteri berbentuk batang yang berukuran
0,7 μm x 1,5 μm, mempunyai bulu cambuk 2,6 peritrich, tidak membentuk spora
atau kapsula, bersifat gram negatif, dan bersifat aerob fakultatif (Semangun
1989). Bakteri menghasilkan enzim pektinase yang dapat menguraikan pektin (yang
berfungsi untuk merekatkan dinding-dinding sel yang berdampingan). Dengan
terurainya pektin, sel-sel akan lepas satu sama lain.
b. Daur hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi
penyakit
Menurut
Semangun (1989), bakteri E. carotovora dapat menyerang bermacam-macam
tanaman hortikultura. Bakteri ini juga dapat mempertahankan diri di dalam tanah
dan di dalam sisa-sisa tanaman di lapangan.
Pada
umumnya, infeksi terjadi melalui luka atau lentisel. Infeksi dapat terjadi
melalui luka-luka karena gigitan serangga atau karena alat-alat pertanian.
Larva dan imago lalat buah (Bactrocera spp.) dapat menularkan bakteri,
karena serangga ini membuat luka dan mengandung bakteri di dalam tubuhnya
(Semangun 1989). Di dalam simpanan dan pengangkutan, infeksi terjadi melalui
luka karena gesekan dan sentuhan antara bagian tanaman yang sehat dengan yang
sakit.
Pembusukan
karena serangan penyakit ini berlangsung dengan cepat dalam udara yang lembab
dan pada suhu yang relatif tinggi. Dalam lingkungan demikian, dalam waktu
singkat seluruh bagian tanaman yang terinfeksi membusuk, sehingga mati. Menurut
Sunarjono (1980) dalam Semangun (1989), kerugian yang ditimbulkan oleh
serangan penyakit ini pada tanaman di dataran rendah lebih besar daripada di
dataran tinggi.
c. Gejala penyakit dan akibat serangan
Gambar
7.Gejala
visual serangan penyakit busuk basah (busuk lunak) pada tanaman kubis (Foto :
S. Sastrosiswojo)
Pada
bagian yang terinfeksi mula-mula terjadi bercak kebasahan. bercak membesar dan
mengendap (melekuk), bentuknya tidak teratur, berwarna coklat tua kehitaman.
Jika kelembaban tinggi, jaringan yang sakit tampak kebasahan, berwarna krem
atau kecoklatan, dan tampak agar berbutir-butir halus. Di sekitar bagian yang
sakit terjadi pembentukan pigmen coklat tua atau hitam. Jaringan yang membusuk
pada mulanya tidak berbau. Namun, dengan adanya serangan bakteri sekunder,
jaringan tersebut menjadi berbau khas yang menusuk hidung.
2.2 Pengendalian penyakit secara
umum
Pengendalian penyakit secara umum Biokontrol
penyakit take-all (Gaeumannomyces graminis var. tritici) oleh Trichoderma spp.
Dan Pseudomonas fluorescens. Trichoderma
(T. viride, T. harzianum, T. hamatum, T. koningii) merupakan fungi antagonis
untuk mengendalikan berbagai patogen tanaman. Mekanisme pengendalian umumnya
melalui parasitisme dan antibiosis.
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Penerapan
PHT pada tanaman kubis bertujuan untuk : (1) secara ekologis menjaga
kelestarian lingkungan, karena pengendalian OPT dilakukan dengan berwawasan
lingkungan; dan (2) secara ekonomi menguntungkan karena pengurangan biaya
produksi yang banyak, khususnya biaya penggunaan pupuk dan pestisida. Untuk
mengetahui besarnya keuntungan penerapan PHT pada usahatani kubis dibandingkan
dengan sistem konvensional (tradisional) yang menekankan pengendalian OPT pada
penggunaan pestisida secara intensif, perlu dilakukan analisis ekonomi secara
sederhana.
DAFTAR
PUSTAKA
Djatnika, I. 1993.
Penyakit-penyakit tanaman kubis dan cara pengendalian. Dalam A.H.
Permadi
&
S. Sastrosiswojo (Penyunting). Kubis. Edisi Pertama : 51-61. Kerjasama
Balithort Lembang dengan Program Nasional PHT, BAPPENAS.
Mudjiono, G. &
Nurimah. 1994. Teknologi pengendalian hama terpadu pada sayuran dataran
tinggi
di Kabupaten DT II Malang dan Magetan. Dalam Sasromarsono, S., K.
Untung, S. Sastrosiswojo, E.D. Darmawan, Y. Soejitno, A. Rauf & G. Mudjiono
(Penyunting). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama
Terpadu. h. 395-420. Lembang, 27-28 Januari 1994. BAPPENAS-Badan Litbang
Pertanian.
Anonim. 2013.pengertian pengendalian hama terpadu. http://jurnalorganik.blogspot.com. Diakses pada 13 mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar