BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan seiring berkembangnya zaman
yang semakin maju, perkembangan teknologi pun seiring dengan perkembangan zaman
tesebut. Perekembangan teknologi tersebut juga berpengaruh pada kemajuan
teknologi dalam dunia IT (Information Technology) yang juga berkembang dengan
pesat . Salah satunya adalah dengan munculnya Teknologi SIG (Sistem Informasi
Geografis). Teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis) telah berkembang pesat.
Saat ini telah dikenal istilah-istilah
Desktop GIS, Web GIS, dan Database Spatial yang merupakan wujud perkembangan teknologi Sistem Informasi
Geografis, untuk mengakomodir kebutuhan
solusi atas berbagai permasalahan yang hanya dapat dijawab dengan
tekhnologi SIG ini. Konsep dasar SIG
sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferensi secara spasial
atau koordinat-koordinat geografi. SIG memiliki kemampuan untuk melakukan
pengolahan data dan melakukan operasi-operasi tertentu dengan menampilkan dan
menganalisa data. Applikasi SIG saat ini tumbuh tidak hanya secara jumlah
applikasi namun juga bertambah dari jenis keragaman applikasinya. Pengembangan
applikasi SIG kedepannya mengarah kepada applikasi berbasis Web yang dikenal
dengan SIG.
35000 tahun yang lalu, di dinding
gua Lascaux, Perancis, para pemburu Cro-Magnon menggambar hewan mangsa mereka,
juga garis yang dipercaya sebagai rute migrasi hewan-hewan tersebut. Catatan
awal ini sejalan dengan dua elemen struktur pada sistem informasi gegrafis
modern sekarang ini, arsip grafis yang terhubung ke database atribut. Pada
tahun 1700-an teknik survey modern untuk pemetaan topografis diterapkan,
termasuk juga versi awal pemetaan tematis, misalnya untuk keilmuan atau data
sensus. Awal abad ke-20 memperlihatkan pengembangan “litografi foto” dimana
peta dipisahkan menjadi beberapa lapisan (layer). Perkembangan perangkat keras
komputer yang dipacu oleh penelitian senjata nuklir membawa aplikasi pemetaan
menjadi multifungsi pada awal tahun 1960. Tahun 1967 merupakan awal
pengembangan SIG yang bisa diterapkan di Ottawa, Ontario oleh Departemen
Energi, Pertambangan dan Sumber Daya. Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang
kemudian disebut CGIS (Canadian GIS – SIG Kanada), digunakan untuk menyimpan,
menganalisis dan mengolah data yang dikumpulkan untuk Inventarisasi Tanah
Kanada (CLI – Canadian land Inventory) – sebuah inisiatif untuk mengetahui
kemampuan lahan di wilayah pedesaan Kanada dengan memetakaan berbagai informasi
pada tanah, pertanian, pariwisata, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah pada
skala 1:250000. Faktor pemeringkatan klasifikasi juga diterapkan untuk
keperluan analisis.
CGIS merupakan sistem pertama di
dunia dan hasil dari perbaikan aplikasi pemetaan yang memiliki kemampuan
timpang susun (overlay), penghitungan, pendijitalan/pemindaian
(digitizing/scanning), mendukung sistem koordinat national yang membentang di
atas benua Amerika , memasukkan garis sebagai arc yang memiliki topologi dan
menyimpan atribut dan informasi lokasional pada berkas terpisah. Pengembangya,
seorang geografer bernama Roger Tomlinson kemudian disebut “Bapak SIG”. CGIS
bertahan sampai tahun 1970-an dan memakan waktu lama untuk penyempurnaan
setelah pengembangan awal, dan tidak bisa bersaing denga aplikasi pemetaan
komersil yang dikeluarkan beberapa vendor seperti Intergraph. Perkembangan
perangkat keras mikro komputer memacu vendor lain seperti ESRI, CARIS, MapInfo
dan berhasil membuat banyak fitur SIG, menggabung pendekatan generasi pertama
pada pemisahan informasi spasial dan atributnya, dengan pendekatan generasi
kedua pada organisasi data atribut menjadi struktur database. Perkembangan
industri pada tahun 1980-an dan 1990-an memacu lagi pertumbuhan SIG pada
workstation UNIX dan komputer pribadi.
Pada akhir abad ke-20, pertumbuhan
yang cepat di berbagai sistem dikonsolidasikan dan distandarisasikan menjadi
platform lebih sedikit, dan para pengguna mulai mengekspor menampilkan data SIG
lewat internet, yang membutuhkan standar pada format data dan transfer. Indonesia
sudah mengadopsi sistem ini sejak Pelita ke-2 ketika LIPI mengundang UNESCO
dalam menyusun “Kebijakan dan Program Pembangunan Lima Tahun Tahap Kedua
(1974-1979)” dalam pembangunan ilmu pengetahuan, teknologi dan riset.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah
sebagai berikut:
·
Mengetahui apa yang dimaksud dengan SIG
·
Mengetahui Tujuan dan Manfaat SIG
·
Mengetahui Keuntungan Menggunakan SIG
·
Mengetahui Website yang Menampilkan SIG
·
Mengetahui Contoh Pemanfaatan SIG
1.3 Manfaat
Manfaat yang dirahapkan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
·
Menambah referensi,
·
Dapat mengetahui pengertian SIG, tujuan
dan manfaat SIG, software
·
untuk
pengembangan SIG (keuntungan menggunakan SIG, Penerapan SIG, contoh
pemanfaatan SIG)
·
Dapat memahami dan mengetahui mengenai
Sistem Informasi Geografi (SIG) sehingga dapat dimanfaatkan dalam bidang
perikanan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian SIG
Pengertian
SIG (Sistem Informasi Geografis) Salah satu model informasi yang berhubungan
dengan data spasial (keruangan) mengenai daerah-daerah di permukaan Bumi adalah
Sistem Informasi Geografi (SIG). Pengertian SIG adalah suatu sistem yang
menekankan pada informasi mengenai daerah-daerah berserta keterangan (atribut)
yang terdapat pada daerah-daerah di permukaan Bumi. Sistem Infomasi Geografis
merupakan bagian dari ilmu Geografi Teknik (Technical Geography) berbasis
komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi data-data keruangan
(spasial) untuk kebutuhan atau kepentingan tertentu.
Seiring
dengan kemajuan dan perkembangan komputer, SIG dewasa ini telah mengalami
kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat sehingga merupakan suatu keharusan
dalam perencanaan, analisis, dan pengambilan keputusan atau kebijakan. Kemajuan
dan perkembangan SIG ini didorong oleh kemajuan dan perkembangan komputer,
serta teknologi penginderaan jauh melalui pesawat udara dan satelit yang telah
dimiliki oleh hampir sebagian besar negara maju di dunia.
2.2
Konsep SIG
Istilah
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan gabungan tiga unsur pokok, yaitu
sistem, informasi, dan geografis. Dapat diketahui bahwa SIG merupakan suatu
sistem yang menekankan pada unsur informasi geografis. Informasi geografis
tersebut mengandung pengertian informasi tentang tempat tempat yang berada di
permukaan bumi, pengetahuan tentang letak suatu objek di permukaan bumi, dan
informasi tentang keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat di permukaan
bumi yang posisinya telah diketahui.
Tumpang
susun beberapa peta merupakan tugas terpenting SIG untuk menghasilkan informasi
yang sesuai dengan tujuan. Misalnya, untuk memilih jalur jalan dapat dilakukan
tumpang susun peta yang terdiri atas peta jenis tanah, peta topografi, peta
laju infiltrasi, dan peta tata guna lahan. Tumpang susun beberapa peta tersebut
merupakan SIG secara manual. SIG secara manual mempunyai banyak keterbatasan,
antara lain sebagai berikut :
·
Memerlukan banyak tenaga dan prosesnya
sangat lambat. Hal itu disebabkan dalam proses tumpang susun peta harus
dilakukan penyamaan proyeksi dan skala peta. Di samping itu, tumpang susun peta
hanya dapat dilakukan atas tiga atau empat lapis, masih ditambah satu peta
dasar untuk mencapai akurasi spasial dalam tumpang susun itu.
·
Sulit untuk melakukan penghitungan
statistik karena pengukuran luas harus dilakukan secara manual.
·
Tidak sesuai untuk menciptakan kombinasi
baru yang rumit dari lapis sebelumnya karena SIG secara manual tidak dilengkapi
dengan proses numerik untuk kombinasi lapis.
·
Diperlukan ruang lebih banyak untuk
tempat penyimpanan data. Di dalam upaya menangani informasi-informasi spasial
atau yang bereferensi geografi, sejak 1970an telah dikembangkan suatu SIG
otomatis. SIG tersebut antara lain digunakan untuk menangani pengorganisasian
data dan informasi, menempatkan informasi pada lokasi tertentu, melakukan
komputerisasi, serta memberikan ilustrasi hubungan antara satu objek dan objek
lainnya. Oleh karena itu, SIG merupakan suatu teknologi informasi yang dapat
digunakan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan
bidang-bidang spasial, khususnya untuk membuat suatu model data spasial. Hal
itu karena SIG mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam menggambarkan
data-data spasial dan data-data atributnya. Melalui penggunaan SIG, modifikasi
warna, bentuk, dan ukuran simbol yang diperlukan untuk menggambarkan suatu
gejala di permukaan bumi dapat dilakukan secara mudah. Sehubungan dengan itu,
SIG dapat digunakan sebagai alat bantu yang sangat menarik dalam meningkatkan
pengertian, pemahaman, pembelajaran, dan pendidikan mengenai ide-ide atau
konsep-konsep lokasi, ruang, kependudukan, dan. unsur-unsur geografis yang
terdapat di permukaan bumi beserta data-data atribut yang menyertainya.
Dikembangkannya
SIG menggunakan perangkat komputer mengakibatkan keterbatasan SIG manual dapat
diatasi. Kemampuan SIG menggunakan perangkat komputer antara lain sebagai
berikut :
1.
Penggabungan dua berkas data spasial
atau lebih, baik daerah yang berbeda dengan atribut sama maupun daerah dan
atribut yang sama sehingga dimungkinkan konversi proteksi, ukuran pixel, kode,
dan simbol.
2.
Pencuplikan sebagian berkas data
spasial, baik dengan cara dibatasi segi empat maupun menutup bagian yang tidak
dikehendaki atau batas tak teratur.
3.
Mampu melakukan penyuntingan berkas data
atribut antara lain meliputi berikut ini:
a. Pengolahan berkas basis data
b. Menayangkan informasi yang dihasilkan sesuai
permintaan pengguna.
c. Memungkinkan analisis statistik.
d. Memungkinkan penggunaan basis data SIG.
e. Menyajikan hubungan antarbasis data.
4.
Tidak memerlukan banyak tuang untuk
penyimpanan data dan pengambilan kembali data dapat dilakttkan secara cepat dan
akurat. Ribuan peta topografi dapat disimpan secara digital pada satu komputer.
5.
Mampu mengolah sejumlah besar data
secara cepat. Seiring dengan perkembangan komputer, perkembangan SIG juga
mengalami peningkatan yang sangat pesat. Peningkatan itu terutama terdorong
oleh perkembangan pengindraan jauh, komputer, dan global positioning system
(GPS). Perkembangan SIG sangat menarik bagi berbagai pihak untuk keperluan yang
sangat beragam. Oleh karena itu, penggunaan SIG mengalami peningkatan yang
sangat pesat sejak 1980-an. Peningkatan penggunaan SIG terjadi terutama di
negara-negara maju, baik di kalangan militer, pemerintahan, akademis, maupun
untuk kepentingan bisnis.
Kita
ketahui bahwa salah satu fungsi peta adalah untuk menyimpan data geografis.
Pada mulanya data-data geografis tersebut disajikan dengan menggunakan
simbol-simbol tertentu. Oleh karena itu, peta dapat dianggap sebagai media yang
efektif untuk menyimpan dan menginformasikan data geografis.Namun, seiring
dengan kemajuan ilmu dan teknologi, data-data informasi geografis dapat disimi
dan disampaikan dengan menggunakan perangkat komputer. Data-data dalam komputer
itu dikenal dengan istilah data digital.
2.3
KOMPONEN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
1. Perangkat Keras (Hardware)
Perangkat
keras SIG adalah perangkat-perangkat fisik yang merupakan bagian dari sistem
komputer yang mendukung analisis goegrafi dan pemetaan. Perangkat keras SIG
mempunyai kemampuan untuk menyajikan citra dengan resolusi dan kecepatan yang
tinggi serta mendukung operasioperasi basis data dengan volume data yang besar
secara cepat. Perangkat keras SIG terdiri dari beberapa bagian untuk menginput
data, mengolah data, dan mencetak hasil proses. Berikut ini pembagian berdasarkan
proses :
·
Input data : mouse, digitizer, scanner
·
Olah data : harddisk, processor, RAM, VGA Card
·
Output data : plotter, printer, screening.
2. Perangkat Lunak (Software)
Perangkat
lunak digunakan untuk melakukan proses menyimpan, menganalisa, memvisualkan
data-data baik data spasial maupun non-spasial. Perangkat lunak yang harus
terdapat dalam komponen software SIG adalah:
·
Alat untuk memasukkan dan memanipulasi
data SIG
·
Data Base Management System (DBMS)
·
Alat untuk menganalisa data-data
·
Alat untuk menampilkan data dan hasil
analisa
3. Data
Pada
prinsipnya terdapat dua jenis data untuk mendukung SIG yaitu :
·
Data Spasial dan Data Non Spasial
(Atribut)
4. Manusia
Manusia
merupakan inti elemen dari SIG karena manusia adalah perencana dan pengguna
dari SIG. Pengguna SIG mempunyai tingkatan seperti pada sistem informasi
lainnya, dari tingkat spesialis teknis yang mendesain dan mengelola sistem
sampai pada pengguna yang menggunakan SIG untuk membantu pekerjaannya
sehari-hari.
5. Metode
Metode
yang digunakan dalam SIG akan berbeda untuk setiap permasalahan. SIG yang baik
tergantung pada aspek desain dan kenyataannya.
2.4
PENERAPAN DAN APLIKASI SIG
Sistem Informasi Geografis dapat
dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data yang telah
diolah dan Tersimpan sebagai atribut
suatu lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri
dari data spasial dan data atribut
dalam bentuk dijital. Sistem ini
merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data
non spasial, sehingga
para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan
berbagai cara. SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial,
dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data
ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta
cetak, table, atau
dalam bentuk konvensional
lainya yang akhirnya akan
mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan.
Ada
beberapa alasan yang mendasari mengapa perlu menggunakan SIG, menurut Anon (2003, dalam As Syakur 2007) alasan yang
mendasarinya adalah:
a) SIG
menggunakan data spasial maupun atribut secara terintergarsi.
b) SIG
dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data.
c) SIG
memiliki kemampuan menguraikan unsure-unsur yang ada dipermukaan bumi ke dalam beberapa layer
atau coverage data spasial.
d) SIG memiliki
kemampuan yang sangat
baik dalam menggambarkan data spasial berikut atributnya.
e) Semua
operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif.
f) SIG
dengan mudah menghasilkan peta -peta tematik.
g) SIG sangat
membantu pekerjaan yang
erat kaitanya dengan bidang spasial dan geoinformatika.
Posisi
GIS dengan segala kelebihannya, semakin lama semakin berkembang bertambah
dan bervarian. Pemanfaatan GIS
semakin meluas meliputi pelbagai disiplin
ilmu, seperti ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu
lingkungan, ilmu pertanian, militer dan lain sebagainya.
2.5
SALAH SATU CONTOH PENG APLIKASIAN SIG
Ø Aplikasi
sistem informasi geografis (sig) untuk zonasi jalur penangkapan ikan di perairan kalimantan barat.
Kegiatan
penangkapan ikan pada periode akhir-akhir ini semakin berkembang seiring dengan
perkembangan teknologi penangkapan. Situasi ini terlihat dengan semakin
berkurangnya jumlah alat tangkap tradisional seperti jenis alat tangkap
perangkap dan jaring angkat serta diikuti dengan meningkatnya penggunaan alat
tangkap yang lebih efektif dan efisien. Hal tersebut mengakibatkan pemanfaatan
sumberdaya ikan di laut semakin intensif dan daya jangkauan operasi penangkapan
ikan oleh para nelayan semakin luas dan jauh dari daerah asal nelayan tersebut.
Menurut Monitja dan Yusfiandayani (2007), sumberdaya ikan dikenal sebagai sumberdaya
milik bersama (common property) yang rawan terhadap tangkap lebih (over fishing)
dan pemanfaatannya dapat merupakan sumber konflik (di daerah penangkapan ikan maupun
dalarn pemasaran hasil tangkapan). Konflik sering terjadi karena tidak jelasnya
wilayah pemanfaatan yaitu dapat melibatkan nelayan dalam satu daerah yang sama
atau pun
Antara
daerah yang satu dengan dengan daerah lainnya. Konflik nelayan juga terjadi
antara nelayan setempat dengan nelayan andon yang umumnya disebabkan perbedaan
alat tangkap yang dipergunakan dan pelanggaran daerah penangkapan. Salah satu
upaya yang telah ditempuh pemerintah dalam menghindari terjadinya konflik
pemanfaatan adalah dengan mengendalikan perkembangan kegiatan penangkapan ikan
melalui penerapan zonasi Jalur Penangkapan Ikan di laut, berdasarkan Kepmentan
No. 392 tahun 1999 yang isinya antara lain mengatur pembagian daerah penangkapan
ikan dan penentuan jenis, ukuran kapal, dan alat penangkapan ikan yang dilarang
dan diperbolehkan penggunaannya. Zonasi merupakan suatu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan
potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang
berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir (Supriharyono, 2000).
Wilayah
yang menjadi objek studi ini adalah Perairan Kalimantan Barat yang merupakan
salah satu fishing ground yang sangat berpotensi, terletak di Selat Karimata hingga
Laut Cina Selatan dan berbatasan langsung dengan perairan Malaysia. Tujuan dari
studi ini adalah untuk menggambarkan peta zona jalur penangkapan ikan di
wilayah perairan Kalimantan Barat.
A.
Data
dan Pendekatan
Bahan
yang digunakan dalam studi ini meliputi: 1) data spasial berupa Peta Rupa Bumi
Indonesia skala 1:25.000, peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) yang didapatkan
dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), peta batimetri
skala 1:50.000 dan data Pasang Surut yang diperolehkan dari Dinas
Hidro-Oseanografi Angkatan Laut (Dishidros-AL). 2) Peraturan perundang-undangan
berupa Kepmentan No. 392 Tahun 1999, Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 18 yang mengatur wilayah kewenangan daerah kabupaten
(sejauh 0-4 mil laut) dan kewenangan daerah propinsi (sejauh 4-12 mil laut).
Peraturan
Menteri Perikanan dan Kelautan No. 17 Tahun 2006 tentang usaha perikanan
tangkap. Untuk pengolahan data digunakan perangkat keras yaitu: personal
computer (PC), printer warna and scanner, sedangkan perangkat lunak berupa
software ArcGIS 9.x, Ms. Excel, and Ms. Word. Metode yang digunakan dalam studi
ini adalah pendekatan SIG dengan teknik analisis spasial yaitu teknik yang dipergunakan
dalam menganalisa kajian keruangan/spasial. Overlay atau tumpang susun peta
atau superimposed peta digunakan untuk menentukan kendala, daerah limitasi dan
kemungkinan pengembangan dalam penyusunan peta jalur penangkapan di perairan
Kalimantan Barat. Buffering dan query berguna untuk menampilkan, mengubah, dan
menganalisis data. Spasial query merupakan peran yang penting sesuai dengan
tujuan atau kebutuhan para penggunanya.
B.
Hasil
dan Diskusi
Dalam
Kepmentan No. 392 Tahun 1999 menjelaskan bahwa wilayah perairan administrasi
daerah Propinsi dibagi menjadi 3 (tiga) jalur penangkapan ikan yaitu jalur Ia
(0-3 mil laut), jalur Ib (3-6 mil laut), jalur II (6-12 mil laut) dan jalur III
(12 mil laut-ZEEI). Implementasi kebijakan tersebut dalam format
spasial yang divisualisasikan dalam
bentuk peta jalur (Gambar 1) mempunyai beberapa ketimpangan, antara lain yaitu:
penentuan batas pulau-pulau terluar yang masih rancu yaitu masih terdapatnya
karang-karang kering yang berpotensi menjadi batas wilayah serta penentuan
jarak minimum antar titik tersebut. Selain itu juga, implementasi di lapangan dirasakan
kurang bahkan cenderung tidak efektif, salah satu kelemahan yaitu belum tervisualisasikan
atau terpetakan secara baik dalam suatu sajian peta jalur penangkapan ikan yang
informatif. Peta implemetasi Kepmentan No. 392 Tahun 1999 yang dihasilkan
berisi jalur-jalur penangkapan ikan wilayah perairan Kalimantan Barat disertai
dengan titik pangkal (TP) kewenangan propinsi. Berdasarkan peta LLN
teridentifikasi 14 TP (Tabel 1) yang membatasi kewenangan wilayah perairan Kalimantan
Barat.
Dasar penarikan jalur penangkapan
ikan tersebut yaitu penentuan garis pangkal kewenangan propinsi yang ditarik
dari TP yang telah teridentifikasi sebelumnya yang didasarkan pada peta
lingkungan laut nasional (LLN) Bakosurtanal produksi Tahun 2005.
Gambar
1. Jalur Penangkapan Ikan Berdasarkan Kepmentan No. 392 Tahun 1999.
Merujuk
dari hasil yang yang digambarkan pada Gambar 1, kemudian dicoba mengelaborasi
sejauh mana visualisasi khususnya secara spasial dari Kepmentan No.
392
Tahun 1999. Untuk itu dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan referensi hokum
dalam penentuan batas wilayah kewenangan daerah yang telah lebih dahulu
diterapkan secara nasional seperti Peraturan-Perundangan No. 38 Tahun 2002
Pasal 10 tentang Penentuan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dan Permendagri
No. 1 Tahun 2006 Pasal 10 tentang Pedoman Penegasan Batas Laut (Gambar 2).
Gambar
2. Peta Modifikasi Jalur Penangkapan Ikan Berdasarkan Kepmentan No. 392 Tahun
1999.
Salah satu produk hukum setelah bergulirnya
otonomi daerah mulai dari tingkat administrasi propinsi yaitu Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 18 yang mengatur wilayah
kewenangan daerah kabupaten (sejauh 0-4 mil laut) dan kewenangan daerah propinsi
(sejauh 4-12 mil laut). Hal ini didukung pula dengan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Pasal 12,18,19 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Peta
implemetasi Kepmentan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dihasilkan (Gambar 3) berisi
jalur-jalur penangkapan ikan wilayah perairan Kalimantan Barat berdasarkan
kewenangan daerah otonom. Jika dicermati secara seksama terdapat perbedaan mendasar
merujuk pada Kepmentan No. 392 Tahun 1999, khususnya pembagian jalur kewenangan
kabupaten. Tahapan identifikasi daerah rawan konflik merupakan tahapan penting
dalam pembuatan alternatif jalur penangkapan ikan, mengingat tipe perairan Kalimantan
Barat dominan dangkal dimana sampai dengan jarak 12 mil laut dari garis pangkal
propinsi, kedalaman masih berkisar 50 meter.
Gambar
3. Peta Kewenangan Pengelolaan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan Permentan
KP No. 17 Tahun 2006.
Berdasarkan
hasil pemetaan (Gambar 4), teridentifikasi beberapa lokasi rawan konflik yaitu
diantaranya perairan pedalaman yang belum dibahas dan tergambarkan dalam Kepmentan
No. 392 Tahun 1999, daerah perbatasan antar negara yaitu bagian utara propinsi
Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, daerah ekosistem terumbu karang
dengan kedalaman kurang dari 20 meter yang masuk dalam jalur I penangkapan ikan
(Ia dan Ib) yaitu di sekitar gugus pulau Karimata dan Jangkat Linge (bagian
selatan Propinsi Kalimantan Barat) dan daerah perbatasan langsung antar
propinsi yaitu perbatasan dengan propinsi Kalimantan Tengah (Tanjung Nipa).
Selain itu juga, kenyataan di lapangan terjadi overlapping dimana
nelayan-nelayan skala besar dengan alat dan mesin yang seharusnya beroperasi di
jalur II juga masuk dan beroperasi di Jalur Ia dan jalur Ib yang sangat
merugikan nelayan kecil. Setelah mempelajari secara seksama, zonasi yang
dihasilkan mulai dari implementasi penggambaran spasial Kepmentan No. 392 Tahun
1999 tentang jalurjalur penangkapan ikan, visualisasi spasial spasial UU No. 32
Tahun 2004 didukung dengan Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan No. 17
Tahun 2006 tentang usaha perikanan
tangkap dan identifikasi daerahdaerah rawan konflik perairan Kalimantan Barat,
baik kelebihan dan kekurangan dari masing masing peraturan yang ada dihasilkan peta
alternatif jalur penangkapan ikan wilayah perairan Kalimantan Barat (Gambar 5).
Gambar
4. Peta Rawan Konflik Wilayah Perairan Kalimantan Barat.
Peta alternatif ini telah mempertimbangkan
parameter jarak dan kedalaman (isobath) disertai dengan beberapa asumsi dan
pembatasan. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan antara lain yaitu :
·
Jalur I dengan jarak maksimal 4 mil laut
diukur dari garis pangkal kewenangan propinsi.
·
Jalur II dengan jarak maksimal 12 mil
laut diukur dari batas jalur I (4 mil laut).
·
Jika dalam jalur I terdapat daerah
dengan kedalaman kurang dari atau sama dengan 20 meter dan daerah tersebut
berada di jalur II, maka daerah tersebut masuk dalam jalur I.
·
Jika dalam jalur II terdapat daerah
dengan kedalaman 20 meter dan atau sampai di
·
luar jalur 20 meter ke arah luar, maka akan
menjadi daerah atau zona konservasi dengan tanda bendera warna merah di lapangan.
·
Jalur III diukur dari batas terluar
jalur II sampai ZEEI dan tidak melampaui jalur II batasan kewenangan Propinsi
lain.
·
Daerah di dalam garis pangkal kewenangan
propinsi disebut sebagai perairan pedalaman dan masuk dalam kategori jalur I.
Gambar 5. Peta Alternatif Jalur Penangkapan Ikan
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
yang dapat ditarik dari studi ini adalah :
1. Dengan
aplikasi SIG maka tergambarkan bahwa Kepmentan No. 392 Tahun 1999 mempunyai
beberapa ketimpangan, antara lain yaitu: Penentuan batas pulau pulau terluar
yang masih rancu yaitu masih terdapatnya karang-karang kering yang berpotensi
menjadi batas wilayah serta penentuan jarak minimum antar titik tersebut,
teridentifikasi lokasi rawan konflik seperti wilayah perairan pedalaman yang
belum dibahas dan tergambarkan dalam Kepmentan 392 Tahun 1999, daerah ekosistem
terumbu karang dengan kedalaman kurang dari 20 meter yang masuk dalam jalur I penangkapan
ikan.
2. Dihasilkan
peta alternatif jalur-jalur penangkapan ikan wilayah perairan Kalimantan dengan
mempertimbangkan parameter jarak dan kedalaman (isobath) disertai dengan
beberapa asumsi dan pembatasan.
DAFTAR PUSTAKA
http://wahyusae.blogspot.com/2014/01/makalah-sistem-informasi-geografis.html
artikel tentang SIG dalam dunia pertanian ini untuk pribadi saya dapat dipahami dengan jelas dan menambah pemahaman saya tentang SIG bukan hanya untuk bidang infrastruktur. Terima kasih.
BalasHapuswww.gunadarma.ac.id