BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pisang
(Musa sp.) merupakan salah satu jenis buah tropika yang mempunyai potensi cukup
tinggi untuk dikelola secara intensif dengan berorientasi agribisnis, karena
telah menjadi usaha dagang eksport dan import di pasar internasional (Rukmana 1999). Namun demikian produksi pisang cenderung turun dari tahun ke tahun,
penurunan produksi tersebut terutama disebabkan oleh serangan hama dan
penyakit. Salah satu penyebab turunnya produksi pisang adalah akibat penyakit
layu darah yang disebabkan oleh phytotype IV Ralstonia solanacearum (Fegan
& Prior 2005). Indonesia merupakan salah satu sentra primer keragaman
pisang. Lebih dari 200 kultivar pisang terdapatdi Indonesia. Tingginya keragaman
ini, memberikan peluang pada Indonesia untuk dapat memanfaatkan dan memilih
kultivar pisang komersial yang dibutuhkan oleh konsumen. Salah satu kendala
yang dihadapi dalam usaha budidaya pisang adalah adanya penyakit darah dan layu
fusarium(Fegan,M.2005; Pegget a!.,. 1996). Pemeliharaan kandidat somaklon
dilakukan secara in vitro dan ex vitro. Pemeliharaansecara in vitro dilakukan
dengan melakukan subkultur pada medium MS. Sebelum dilakukan pemeliharaan secara
ex vitro, maka planlet diinduksi ketahanannya lebih lanjut dengan menggunakan
jasad renik endofitik strain Antl, Ant2 dan Ant3. Untuk memastikan bahwa jasad
renik endofitik tersebut telah masuk ke dalam jaringan planlet pisang kepok
kuning maka dilakukan pengujian beberapa sampel dengan mengunakan teknik
PCR dengan primer 16s. Uji ketahanan bibit pisang kultur jaringan hasil seleksi
in vitroterhadap penyakit darah dan layu fusarium dilakukan di rumah kaca. Pada
tahap pertama, dilakukan pengujian ketahanan terhadap BOB. RISA dilakukan pada
akhir pengamatan bibit tanaman pisang yang telah diuji ketahanannya terhadap penyakit
darah di rumah kaca. ISR (intergenic spacer region) antara gen
SSU (small-subunit) dan LSU (large-subunit) rRNA diamplifikasi dengan primer
S926f dan L189r. Untuk deteksi keberadaan BOB dilakukan dengan PCRdengan primer
spesifik untuk BOB yaitu 121F dan 121R.
Kultur jaringan
merupakan salah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman
genetik tanaman sehingga sifat-sifat unggul yang diperlukan dapat dihasilkan.
Untuk mendapatkan tanaman yang lebih baik sifatnya selain melalui teknologi
keragaman somaklonal dapat dilakukan dengan seleksi in-vitro (Lestari et
al.2006). Metode keragaman somaklonal dan seleksi in-vitro telah diaplikasikan
pada berbagai tanaman seperti tanaman pisang.
Tanaman pisang hasil
induksi mutasi dengan mutagen kimia secara in-vitro menunjukkan keragaman yang
besar (Hwang 1990; Bhagwat & Duncan 1998). Penggunaan mutagen kimia pada
kultur in-vitro merupakan teknik yang lebih baik untuk mendapatkan mutan
daripada mutagen fisik (Herawati 1999; Roux 2004).
Mutasi pada tanaman
juga dapat diamati dengan adanya perubahan bentuk daun. Secara in-vitro
perubahan ini dapat dilihat pada planlet yang meliputi warna daun, persentase
planlet yang tumbuh,tinggi planlet (Jamaluddin 1995), bentuk daun (Hawa 1996),
dan perkembangan tunas dimana tunas sangat sensitif terhadap mutagen kimia
(Satyanarana et al, 1980; EPP 1987).
Keberhasilan induksi
mutasi pada tiap-tiap jenis tanaman tergantung pada jenis mutagen, konsentrsi
mutagen, lama perlakuan dan organ tanaman yang diperlakukan.
Pada makalah ini, dibahas variasi somaklonal pada
tanaman pisang secara in vitro. Tanaman hasil
regenerasi jaringan pada kultur in vitro kemungkinan akan mempunyai
fenotipe yang toleran terhadap kondisi seleksi. Seleksi in vitro lebih
efisien karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen, tempat yang dibutuhkan
relatif sedikit, dan efektivitas seleksi tinggi. Oleh karena itu, kombinasi
antara induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro merupakan
alternatif teknologi yang efektif dalam menghasilkan individu dengan karakter
yang spesifik (Kadir 2007). Penggunaan teknik in vitro akan menghasilkan
populasi sel varian melalui seleksi pada media yang sesuai. Intensitas seleksi
dapat diperkuat dan dibuat lebih homogen. Populasi jaringan atau sel tanaman
dapat diseleksi dalam media seleksi sehingga akan meningkatkan frekuensi varian
dengan sifat yang diinginkan (Specht dan Greaf 1996; Biswas et al.
2002).
Variasi somaklonal secara in
vitro me-rupakan salah satu metode pemulia-an yag paling menjanjikan untuk
menghasilkan varietas baru yang tahan terhadap cekaman lingkungan sambil menunggu
metode pemuliaan in vitro lain seperti fusi protoplasma dan rekombinasi
DNA yang masih dalam tahap awal. Penerapan teknik ini diarahkan untuk
mempercepat pencapaian tujuan pemuliaan ter-utama pada tanaman yang
diper-banyak secara vegetatif. Hal ini disebabkan karena teknik ini dapat
menghasilkan sejumlah besar tanam-an dari sejumlah kecil jaringan awal serta
dapat menyeleksi klon yang bebas virus dan penyakit lainnya. Variasi
soma-klonal secara in vitro dapat menim-bulkan perubahan genetik yang
mem-pengaruhi sifat morfologis, biokimia dan sifat agronomik sebagai bahan
seleksi dalam penyaringan keturunan somaklon.
Dalam kultur in vitro peranan
kalus sangatlah penting. Pentingnya kalus dalam kultur in vitro karena
dapat disub kultur dan dipelihara dalam waktu yang tidak terbatas, dengan
perlakuan khusus dapat di-kembangkan menjadi kultur suspensi dan dapat
diinduksi menjadi planlet. Seleksi terhadap variasi somaklonal tersebut
dilakukan dengan pemberian tekanan seleksi pada sel-sel tetua untuk menjaring
sel-sel yang tahan dan tetap mampu beregenerasi. Keragaman genetik yang tinggi
merupakan salah satu faktor penting untuk merakit varietas unggul baru.
Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan memanfaatkan plasma nutfah
yang tersedia di alam dan dapat pula dengan melakukan persilangan. Sifat-sifat tertentu sering tidak ditemukan
pada sumber gen yang ada sehingga teknologi lainnya perlu diterapkan. Salah satu teknologi pilihan yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman adalah melalui
teknologi kultur in vitro. Kultur in vitro biasanya merupakan sumber terkaya
dalam memproduksi variasi genetik. Dalam
beberapa publikasi penggunaan regeneran dinamakan sesuai dengan Hak Cipta ©
2006, BB-Biogen asal regenerasi tanaman baru tersebut. Misalnya tanaman yang
berasal dari kalus disebut calliclones
(Skirvin dan Janik 1976), sedang tanaman yang berasal dari protoplas disebut protoclones (Shepard et al. 1980). Larkin dan Scowcroft (1981)
menghasilkan berbagai variasi somaklonal yang tersebar secara luas dan
disebutkan bahwa tanaman yang berasal dari berbagai bentuk kultur sel disebut
somaclones dan variasi genetik yang terjadi termasuk variasi/keragaman
somaklonal. Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik yang dihasilkan
melalui kultur jaringan (Larkin dan Scowcroft 1981; Scowcroft et al. 1985).
Menurut Wattimena (1992) keragaman somaklonal berasal dari keragaman genetik
eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan. Keragaman
pada eksplan disebabkan adanya sel-sel bermutasi maupun adanya polisomik dari
jaringan tertentu. Keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan
disebabkan oleh penggandaan jumlah kromosom (fusi endomitosis), perubahan
struktur kromosom (pindah silang), perubahan gen dan sitoplasma (Evans dan
Sharp 1986; Ahlowalia 1986). Dengan demikian, dari kultur jaringan dapat
diseleksi genotipe yang berguna bagi pemuliaan tanaman. Keragaman genetik dapat
dicapai antara lain melalui fase tak berdiferensiasi yang relatif panjang
(Wattimena 1992). Daud (1996) menyatakan bahwa mutasi spontan yang terjadi pada
sel somatik berkisar antara 0,2-3%. Keragaman tersebut dapat ditingkatkan
dengan pemberian mutagen baik fisik maupun kimiawi. Salah satu metode keragaman
somaklonal yang banyak dimanfaatkan adalah seleksi in vitro. Metode tersebut lebih efektif dan
efisien karena perubahan lebih diarahkan pada perubahan sifat yang diharapkan.
Perubahan sifat genetik pada sel somatik yang dikulturkan sering membentuk
tanaman mutan baru walaupun tanpa diberi perlakuan mutagen (Linaceru dan
Vazquez 1992; Starys 1992). Perubahan sifat genetik tersebut akan meningkat
apabila ke dalam media diberikan komponen organik tertentu yang dapat
memunculkan variasi genetik. Untuk ketahanan terhadap faktor biotik dan
abiotik, ke dalam media diberikan komponen seleksi. Untuk ketahanan terhadap
kekeringan, diberikan PEG (Short et al. 1987; Adkins et al. Jurnal AgroBiogen
2(2):81-88 JURNAL AGROBIOGEN VOL 2, NO.
2
1.2. Tujuan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk mengetahui variasi somaklonal pada tanaman pisang
secara in-vitro. Collin dan Edwards (1998) melaporkan bahwa pada tahap awal
variasi somaklonal dapat memberikan suatu kontribusi yang nyata pada pemuliaan
tanaman. Regene-rasi selanjutnya selalu menunjukkan variasi yang luas dalam
morfologi tetapi sebagian besar akan hilang pada biji pertama yang dihasilkan.
Walaupun variasi tidak mempengaruhi semua sifat dan tidak selalu menguntungkan
di dalam pertanian, tetapi dengan seleksi kemungkinan dapat diperoleh
nomor-nomor yang berguna dari sumber variasi tersebut. Misalnya peningkatan
ketahanan terhadap herbisida klorosulfuran pada tanaman jagung, kenaikan
toleransi terhadap imidazilinone pada jagung, ketahanan terhadap Helminthosporium sativum pada gandum dan
barley, toleransi terhadap garam pada rami, juga peningkatan terhadap
pembekuan, kualitas butir dan kandungan protein pada gandum, serta peningkatan
ukuran biji dengan kandungan protein yang tinggi pada padi. Setelah ditetapkannya kerja sama antara Food and Agriculture Organization (FAO)
dan International Atomic Energy Agency
(IAEA) mengenai teknik nuklir di bidang pertanian, lebih dari 1800 kultivar
telah dihasilkan baik sebagai mutan langsung maupun mutan yang berasal dari
persilangan setelah kultivar tersebut satu peragaan disebarkan di 50 negara.
Menurut FAO/ IAEA database, 465 mutan disebarluaskan melalui tanaman yang
diperbanyak secara vegetatif, terutama tanaman florikultura dan beberapa
tanaman buah-buahan, termasuk krisan,
Alstroemeria, dahlia, bougenvil,
mawar, Achimenes, begonia, anyelir, Streptocarpus, dan Azalea.
Radiasi pada kultur in vitro dilakukan
pada palem, apel, ubi jalar, kentang, dan nenas. Radiasi juga dilakukan pada
tanaman yang diperbanyak secara mikropropagasi, yaitu pada tunas axilar dan
tunas adventif, meristem apikal, kultur kalus regeneratif, antera, dan
mikrospora, serta embrio somatik (Ahlowalia dan Maluszynski 2001). Walaupun
telah banyak hasil pemanfaatan variasi somaklonal secara kultur in vitro pada pemuliaan tanaman, penelitian
konvensional masih dilakukan dengan kemajuan yang nyata pada tanaman-tanaman
penting. Beberapa contoh hasil pemanfaatan variasi somaklonal sebagai tanaman
unggul baru di antaranya:
1. Mawar mini (Rosa hibrida L.)
Mawar
yang banyak ditanam di Indonesia umumnya merupakan hasil introduksi. Untuk
meningkatkan keragaman genetik tanaman tersebut maka dilakukan keragaman
somaklonal kombinasi radiasi sinar gamma 0-12 krad pada mata tunas in vitro (Handayani et al. 2002). Setelah
regenerasi, mata tunas in vitro tersebut diisolasi dari biakan yang telah
mengalami periode kultur yang lama (+24 bulan). Perubahan sifat genetik yang
diekspresikan pada perubahan kelopak dan warna bunga dapat dilihat mulai dari
biakan dalam botol. Setelah diaklimatisasi dan diperbanyak secara konvensional,
perubahan warna tetap dipertahankan (Tabel 2006 HUTAMI ET AL.: Peningkatan
Keragaman Genetik Tanaman 831).
Terjadinya perubahan pada kelopak dan warna bunga dapat terjadi karena adanya
mutasi pada kumpulan sel somatik dan dapat terekspresi pada sel meristem dan
akan membentuk suatu sektor yang stabil (Boertjes dan Van Harten 1978). Menurut
Ismachin (1988), perubahan warna bunga dapat bersifat khimera atau perubahan
seluruhnya. Pada Tabel 1 terlihat bahwa di samping terjadi perubahan warna
bunga terlihat pula adanya perubahan jumlah kelopak bunga. Dengan demikian,
keragaman genetik yang ditimbulkan karena keragaman somaklonal pada mawar mini
terekspresi pada warna dan struktur bunga. Perubahan tersebut bersifat stabil
sampai tanaman ditumbuhkan di rumah kaca dan diperbanyak secara vegetatif
berulang kali.
2. Panili (Vanilla planifolia)
Panili
merupakan salah satu tanaman industri yang potensial untuk dikembangkan.
Masalah utama dalam pengembangannya adalah serangan patogen Fusarium oxysporum.
Kerusakan yang diakibatkan penyakit ini dapat mencapai 80% dari pertanaman
(Balittro 1994) dengan kerugian yang ditimbulkannya diperkirakan sebesar 32
miliar rupiah setiap tahunnya. Untuk mendapatkan genotipe baru yang tahan
penyakit telah dilakukan seleksi in vitro
dengan komponen seleksi berupa toksin murni asam fusarat dan filtrat. Bahan
tanaman yang diseleksi berupa struktur globular ukuran +1 mm. Tunas hasil
seleksi dengan filtrat (0-50%) diseleksi kembali dengan asam fusarat (FA) (0-75
ppm). Demikian pula sebaliknya selalu diseleksi silang. Seleksi silang
dilakukan pada biakan yang telah diseleksi dengan komponen FA maupun filtrat
dan berhasil diregenerasi membentuk tunas (Kosmiatin et al. 2000). Setelah
biakan diseleksi dengan filtrat (ekstrak) dan FA selanjutnya dilakukan
aklimatisasi di rumah kaca dan diuji ketahanannya terhadap F. oxysporum.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Variasi somaklonal pertama kali
dikemukakan oleh Larkin dan Scowcroft (1981) dalam Kadir (2007), yang
didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui
kultur sel, baik sel somatik seperti sel daun, akar, dan batang, maupun sel
gamet. Skirvin et al. (1993) mendefinisikan variasi somaklonal sebagai
keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan. Variasi
tersebut dapat berasal dari keragaman genetik eksplan yang digunakan atau yang
terjadi dalam kultur jaringan.
Variasi somaklonal yang terjadi dalam
kultur jaringan merupakan hasil kumulatif dari mutasi genetik pada eksplan dan
yang diinduksi pada kondisi in vitro. Variasi somaklonal merupakan
perubahan genetic yang bukan disebabkan oleh segregasi atau rekombinasi gen,
seperti yang biasa terjadi akibat proses persilangan. Thrope (1990) menggunakan
istilah pre-existing cellular genetic, yaitu keragaman yang
diinduksi oleh kultur jaringan. Keragaman ini dapat muncul akibat penggandaan
dalam kromosom (fusi, endomitosis), perubahan jumlah kromosom (tagging dan
nondisjunction), perubahan struktur kromosom, perubahan gen, dan
perubahan sitoplasma (Kumar dan Mathur 2004). Variasi somaklonal dapat
dikelompokkan menjadi keragaman yang diwariskan (heritable), yaitu yang
dikendalikan secara genetik, dan keragaman yang tidak diwariskan, yakni yang
dikendalikan secara epigenetik. Keragaman somaklonal yang dikendalikan secara
genetik biasanya bersifat stabil dan dapat diturunkan secara seksual ke
generasi selanjutnya. Keragaman epigenetik biasanya akan hilang bila diturunkan
secara seksual (Skirvin et al. 1993). Pemuliaan tanaman melalui kultur
jaringan bermanfaat dalam merangsang keragaman genetik dan mempertahankan
kestabilan genetik. Wattimena dan Mattjik (1992) menyatakan, keragaman genetic
pada kultur jaringan dapat dicapai melalui fase tak berdiferensiasi (fase kalus
dan sel bebas) yang relatif lebih panjang. Untuk mendapatkan kestabilan genetik
pada teknik kultur jaringan, dapat dilakukan dengan cara menginduksi sesingkat
mungkin fase pertumbuhan tak berdiferensiasi. Melalui teknik
ini, telah dihasilkan somaklon baru yang tahan lahan masam pada kedelai
(Mariska et al. 2004), juga pada kentang
dan tomat (Starvarek dan Rains 1984) serta sorgum (Smith et al. 1983). Menurut Ahlowalia dan Maluszynski (2001)
penggunakan radiasi seperti sinar X, Gamma, dan neutrons serta mutagen kimiawi
untuk menginduksi variasi pada tanaman telah banyak dilakukan. Induksi mutasi
telah digunakan untuk peningkatan variasi tanaman penting seperti gandum, padi,
barley, kapas, kacang tanah, dan kacang-kacangan lainnya yang diperbanyak
melalui biji. Seleksi in vitro telah
banyak dimanfaatkan untuk ketahanan terhadap faktor biotik seperti patogen.
Toksin murni dan filtrat umumnya digunakan untuk komponen seleksi. Apabila
toksin tidak diketahui atau kurang efektif maka filtrat dapat digunakan dan di
samping itu, harganya lebih murah. Penggunaan filtrat atau toksin untuk
ketahanan terhadap penyakit telah dilakukan pada tanaman persik, pir (Nagatomi
1996), tomat (Toyoda et al. 1984) dan Vitis vinivera (Jayasankar et al. 1998). Hasil penelitian tersebut menunjukkan
adanya korelasi antara sel somatik yang sensitif terhadap filtrat atau toksin
dengan tanaman (hasil regenerasi) yang tahan penyakit. Di samping itu, sifat
tahan penyakit yang ditimbulkan karena keragaman somaklonal diwariskan pada
turunannya. Muller et al. (1990) juga mengatakan bahwa variasi
somaklonal pada tanaman yang dihasilkan dari kultur jaringan dapat digunakan
untuk meregenerasikan kultivar baru. Dua tipe umum pada variasi ploidi, yaitu
poliploidi dan aneuploidi sering ditemukan pada kultur jaringan sel (Roy 1990).
Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan spektrum variasi
somaklonal, zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam induksi beberapa perubahan di dalam
kromosom (Nair dan Seo 1995 dalam Do et al. 1999).Dengan terbuktinya bahwa
keragaman somaklonal dapat membentuk variasi baru maka metode tersebut
diaplikasikan pada tanaman hortikultura, pangan, dan industri.
Variasi somaklonal dalam kultur
jaringan terjadi akibat penggunaan zat pengatur tumbuh dan tingkat
konsentrasinya, lama fase pertumbuhan kalus, tipe kultur yang digunakan (sel,
protoplasma, kalus jaringan), serta digunakan atau tidaknya media seleksi dalam
kultur in vitro (Skirvin et al. 1993; Jain 2001). Beberapa sifat
tanaman dapat berubah akibat variasi somaklonal, namun sifat lainnya tetap
menyerupai induknya. Dengan demikian, variasi somaklonal sangat memungkinkan
untuk mengubah satu atau beberapa sifat yang diinginkan dengan tetap
mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah dimiliki oleh tanaman induk.
Mattjik (2005) menyatakan, dalam perbanyakan secara in vitro, yang
terjadi adalah mutasi somatik. Sel yang bermutasi saat membelah akan membentuk
sekumpulan sel yang berbeda dengan sel asalnya. Tanaman yang berasal dari
sel-sel yang bermutasi akan membentuk tanaman yang mungkin merupakan klon baru
yang berbeda dengan induknya.
Perbaikan tanaman melalui variasi
somaklonal telah banyak dilakukan, antara lain untuk sifat ketahanan terhadap
cekaman biotik dan abiotik. Cara tersebut bermanfaat bila dapat menambah
komponen keragaman genetik yang tidak ditemukan di alam serta mengubah sifat
dari kultivar yang ada menjadi lebih baik, terutama untuk tanaman yang
diperbanyak secara vegetatif atau menyerbuk sendiri (Ahloowalia 1990).
Keragaman somaklonal
adalah keragaman genetik yang terjadi pada sel-sel somatik karena adanya
keragaman kromosom. Oleh karena itu keragaman genetik bisa terjadi pada tingkat
sel, protoplasma, kalus, jaringan dan morfologi tanaman yang telah mengalami
regenerasi. Keragaman disebabkan karena adanya perubahan jumlah dan struktur
kromosom. Stabilitas genetik dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan
perlu dipertahankan, oleh karena itu perubahan genetik sangat dihindarkan.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perubahan genetik yang sering terjadi dalam kultur sel atau
jaringan disebabkan antara lain adanya poliploidi, aneuploidi, kerusakan
kromosom,delesi, translokasi, amplifikasi gen dan mutasi. Keragaman genetik
dalam kultur jaringan diekspresikan dalam bentuk variasi sifat-sifat pada
tanaman yang beregenerasi yang kemudian dapat diturunkan baik melalui
perbanyakan secara seksual maupun vegetatif.
Keragaman genetik
terjadi pada sel-sel yang dikulturkan, tanaman yang berasal dari sel-sel
tersebut disebut variasi somaklonal. Terminologi lain adalah variasi atau
keragaman gametoklonal yang mengacu pada keragaman yang terjadi pada polen
tanaman, tetapi istilah ini jarang dipakai. Secara umum, istilah keragaman
somaklonal digunakan untuk keragaman genetik yang terjadi pada semua jenis sel
atau tanaman yang berasal dari sel-sel yang dikulturkan secara in vitro.
Keragaman tanaman hasil kultur jaringan atau sel menunjukkan sifat kualitatif
maupun kuantitatif yang dapat diturunkan.
Keragaman somaklonal
yang terjadi pada biakan in vitro bisa diakibatkan karena sel somatik membelah
secara tidak sempurna baik karena suhu yang tinggi, genotipe, atau perlakuan
zat kimia yan menyebabkan replikasi kromosom tidak berjalan sempurna. Pada
kultur jaringan sering terjadi bila jaringan yang dikulturkan mengalami
pembelahan sel yang sangat intensif dan membentuk kalus. Keragaman sel-sel
somatik tersebut dapat dimanfaatkan untuk diseleksi sifat-sifat unggulnya.
Variasi pada tingkat
kromosom akan menyebabkan perubahan fenotipe tanaman baik yang bersifat
permanen maupun tidak permanen. Upaya meningkatkan variasi sel somatik melalui
kultur sel atau kalus banyak dilakukan untuk mendapatkan galur-galur mutan secara
cepat. Galur-galur mutan tersebut antara lain ditujukan untuk: (i) mendapatkan
tanaman yang mampu tumbuh pada cekaman lingkungan seperti kadar Al tinggi,
kadar garam yang tinggi, kekeringan dll.(ii) mendapatkan tanaman yang resisten
terhadap hama, penyakit dan herbisida, (iii) memproduksi senyawa kimia tertentu
(asam amino, metabolit sekunder) dalam jumlah yang tinggi.
Berbagai cara yang
dapat ditempuh untuk meningkatkan keragaman pada sel somatik antara lain dengan
induksi mutasi menggunakan radiasi atau bahan kimia mutagen. Radiasi dapat
menggunakan radiasi sinar UV, sinar X-ray, atau sinar gamma. Radiasi dari sinar
radioaktif dapat menyebabkan mjtasi pada tingkat kromosom ataupun DNA. Pengaruh
radiasi terhadap mutasi tergantung pada tipe radiasi, pengaruh lingkungan sel
sebelum dan sesudah radiasi, dan fase pertumbuhan tanaman yang diradiasi.
Radiasi jaringan
menghasilkan mutasi hanya pada bagian tertentu dari jaringan yang dapat
mengakibatkan terbentuknya khimera. Penggunaan mutagen kimia untuk mendapatkan
keragaman genetik pada sel somatik akan menyebabkan mutasi pada tingkat DNA.
Mutasi ini dapat mengubah struktur asam amino tertentu, menyebabkan penggandaan
kromosom atau menginaktifkan DNA. Mutagen kimia yang banyak digunakan untuk
induksi mutasi adalah:Ethyl metane sulfonate (EMS), methyl metane sulfonaate
(MMS), Chloro choline chlorida, 5-bromourasil, dan 5-bromodeoxyuridine.
BAB
III
METODE PELAKSANAAN
Penulisan makalah ini kami rumuskan melalui metode Studi
Pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data-data dan informasi yang berasal dari
jurnal hasil penelitian yang berkaitan dengan rekayasa somaklonal atau
gametoklonal. 2.
Tahapan Kultur Jaringan
a.
Pembuatan Media
Merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral,
vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar,
gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh
(hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya,
tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung
reaksi atau botol-botol kaca. Media yang
digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf pada suhu 121º C selama 45 menit.
b.
Sterilisasi eksplant Inisiasi kultur (Culture Estabilishment)
Sterilisasi eksplan merupakan bagian yang paling sulit dalam
proses produksi bibit melalui kultur jaringan. Sterilisasi biasanya dilakukan
dalam beberapa tahap. Pertama-tama eksplan dicuci dengan deterjen atau bahan
pencuci lain, selanjutnya direndam dalam bahan-bahan sterilan baik yang
bersifat sistemik atau desinfektan. Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk
sterilisasi antara lain clorox, kaporit atau sublimat. Sebagai contoh,
sterilisasi eksplan tanaman dapat dilakukan sebagai berikut: tunas yang akan
digunakan sebagai eksplan dicuci dengan deterjen sampai betul-betul bersih.
Setelah itu, tunas diambil dan direndam berturut-turut dalam benlate (0,5%)
selama 5 menit, alkohol (70%) selama 5 menit, clorox (20%) selama 20 menit, dan
HgCl2 (0,2%) selama 5 menit. Akhirnya eksplan dibilas dengan aquades steril
(3-5 kali) sampai larutan bahan kimia hilang. Apabila kontaminan tetap ada maka
konsentrasi dan lamanya perendaman sterilan dapat ditingkatkan. Bahan yang
digunakan serta metode sterilisasi biasanya berbeda untuk setiap bahan tanaman,
sehingga bahan dan cara tersebut belum tentu berhasil apabila diaplikasikan
pada bahan yang berbeda serta waktu yang berlainan. Dengan demikian, setiap
pekerjaan kultur jaringan, cara sterilisasi eksplan harus dicoba beberapa
kali.c. Penumbuhan eksplant dalam media cocok. Setelah disterilkan eksplan
ditumbuhkan dalam media kultur. Media yang banyak digunakan sampai saat ini
adalah media MS. Untuk mengarahkan biakan pada organogenesis yang diinginkan,
ke dalam media ditambahkan zat pengatur tumbuh.
d.
Multipliksi atau perbanyakan planlet
Proses penggandaan tanaman dimana tanaman dipotong-potong
pada bagian tertentu menjadi ukuran yang lebih kecil kemudian ditanam kembali
kemedia agar yang telah disiapkan. Proses ini dilakukan secar berulang setiap
tanggal waktu tertentu. Pada setiap siklusnya tanaman dipotong dan menghasilkan
perbanyakan dengan tingkat RM (Rate Of Multiplication) tertentu yang
berbeda-beda untuk setiap tanaman. Kemampuan multiplikasi akan meningkat
apabila biakan disubkultur berulang kali. Namun perlu diperhatikan, walaupun
subkultur dapat meningkatkan factor multiplikasi dapat juga meningkatkan
terjadinya mutasi. Untuk itu, biakan perlu diistirahatkan pada media MS0, yaitu
tanpa zat pengatur tumbuh. Banyaknya bibit yang dihasilkan oleh suatu
laboratorium tergantung kemampuan multiplikasi tunas pada setiap periode
tertentu. Semakin tinggi kemampuan kelipatan tunasnya maka semakin banyak dan
semakin cepat bibit dapat dihasilkan.
e.
Pemanjangan tunas, induksi dan perkembangan akar.
Merupakan proses induksi (perangsangan) bagi sistem perakaran tanaman. Hasil dari proses ini
adalah tanaman dari kondisi sempurnah. Tahapan ini tidak berlaku untuk semua
jenis tanaman. Pengakaran adalah fase dimana planlet akan menunjukkan adanya
pertumbuhan akar yang mana biasanya hanya berupa penambahan zat pemacu
pertumbuhan dari golongan auxin. Dalam fase ini biasanya tunas ditanam dalam
media yang mengandung zat pengatur tumbuh (IAA, IBA atau NAA). Perakaran
umumnya dilakukan pada tahap akhir dalam suatu periode perbanyakan kultur
jaringan, yaitu apabila jumlah tunas in vitro sudah tersedia sesuai dengan
jumlah bibit yang akan diproduksi.f. Aklimatisasi planlet kelingkungan luar
Aklimatisasi adalah proses penyesuaian planlet dari kondisi mikro dalam botol
(heterotrof) ke kondisi lingkungan luar (autotrof). Planlet yang dipelihara
dalam keadaan steril dalam lingkungan (suhu dan kelembaban) optimal, sangat
rentan terhadap lingkungan luar (lapang). Planlet yang tumbuh dalam kultur di
laboratorium memiliki karakteristik daun yang berbeda dengan planlet yang
tumbuh di lapang. Daun dari planlet pada umumnya memiliki stomata yang lebih
terbuka, jumlah stomata tiap satuan luas lebih banyak, dan sering tidak
memiliki lapisan lilin pada permukaannya. Dengan demikian, planlet sangat
rentan terhadap kelembaban rendah. Mengingat sifat-sifat tersebut, sebelum
ditanam di lapang, planlet memerlukan aklimatisasi. Aklimatisasi dapat
dilakukan di rumah kaca atau pesemaian, baik di rumah kaca atau pesemaian.
Dalam aklimatisasi, lingkungan tumbuh (terutama kelembaban) berangsur-angsur
disesuaikan dengan kondisi lapang. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan
bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi
bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur
jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah
bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup
dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan
pemeliharaan bibit generatif.
Tahapan penanaman :
Inisiasi Tunas
Tunas yang sudah siap tanam
dimasukkan ke dalam medium P1 ( medium inisiasi tunas )
Eksplan dalam medium inisiasi
tunas Inkubasikan selama 2 minggu sampai terlihat warna kehijauan di
eksplannya.Kupas lagi eksplannya dengan cara aseptis sampai berukuran ½ nya.
Tanam kembali sampai terlihat hijau lagi dan itu artinya eksplan hidup.Eksplan
berubah warna menjadi kehijauanBelah eksplan menjadi dua bagian dan kemudian
diletakkan titik tumbuhnya menempel pada medium. Tunggu sampai muncul tunas
kecil dan berwarna putih seukuran 2 – 3 mm.Sebagai catatan proses terjadinya
multiplikasi tunas yang pertama biasanya terjadi antara minggu ke 8 – 12. Dan
setelah terjadi multiplikasi tunas ini baru bisa dilakukan subkultur.
Perbanyakan tunas
Tunas yang tumbuh dipotong dan
dipindahkan ( disubkultur ) ke medium P1 ( medium inisiasi tunas ) lagi dengan
hati-hati, jangan sampai rusak.Tunas yang sudah tumbuh banyak harus sering
dipecah dan dipindahkan ( disubkultur ) ke medium P1 ( medium inisiasi tunas )
lagi.Tunas yang cukup besar, besarnya seragam dan mulai mengalami differensiasi
organ lain yaitu daun dipindahkan ( disubkulturkan ) ke P2 ( medium perbanyakan
tunas ), satu atau dua kali sesuai kebutuhan. Tunas kecil dipindahkan (
disubkultur ) ke medium P1 lagi.
Perakaran
Tanaman kecil ( planlet ) dalam
P2 ( medium perbanyakan tunas ) dipilih yang seragam kemudian dipindahkan (
disubkultur ) medium P3 ( medium perakaran ) untuk bisa melakukan proses perakaran.
Bila planlet sudah berdaun 4 – 5 helai daun berarti sudah siap keluar untuk
dilakukan aklimatisasi.
Catatan :
Dalam proses subkultur pada
medium yang sama dapat dilakukan sampai 6 kali subkultur, baru kemudian bisa
dipindahkan untuk diakarkan pada medium P3 ( medium perakaraan ). Dan seluruh
proses subkultur dari awal sampai akhir ada baiknya jangan sampai melebihi 10
kali subkultur karena akan mengurangi kualitas planlet yang dihasilkan.
Aklimatisasi
Aklimatisasi dapat dilakukan
secara majemuk pada bedengan di bawah tempat yang teduh atau secara tunggal
pada gelas bekas aqua yang diisi tanah subur ditambahkan pasir dengan
perbandingan 1 : 1 . Pada saat aklimatisasi ini umumnya 2 minggu dengan sungkup
dan 4 minggu tanpa sungkup. Dan pada saat itu planlet sudah mencapai tinggi 20
– 25 cm.
Selanjutnya bibit siap
ditumbuhkan dalam polibag.
Nursery
Tanaman perlu ditumbuhkan di
nursery sampai mencapai tinggi 50 – 60 cm kemudian dipindahkan ke lapangan.
Pisang hasil kultur yang siap ditanam di lapang
Prinsip dasar Kultur Jaringan
yaitu :
a. Sel dari suatu organisme
multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena
berasal dari satu sel tersebut (Setiap sel berasal dari satu sel).
b. Teori Totipotensi Sel (Total
Genetic Potential), artinya setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot
yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman lengkap.
Teori ini mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang biak.karena
seluruh bagian tanaman terdiri atas jaringan – jaringan hidup.
Sedangkan Tahap-tahap pada kultur jaringan tanaman
yaitu :
a. Pemilihan dan Penyiapan Tanaman Induk Sumber
Eksplan
b. Inisiasi Kultur
c. Sentrilisasi
d. Multiplikasi atau Perbanyakan Propagul
e. Pemanjangan Tunas, Induksi, dan Perkembangan Akar
f. Aklimatisasi
AKTIVITAS
PENELITIAN
1.
Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan (in-vitro) Perbanyakan
tanaman melalui teknik kultur jaringan memeiliki beberapa keuntungan, yaitu
diperolehnya bibit yang seragam dalam jumlah besar. Teknik ini sangat
bermanfaat untuk tanaman-tanaman yang diperbanyak secara vegatatif. Adapun
tanaman yang telah berhasil diperbanyak antara lain tanaman hias (misal:
anggrek dan mawar), tanaman obat (misal: purwoceng dan bidara upas), tanaman
berkayu (misal: jati dan cendana), serta tanaman buah-buahan (misal: pisang dan
manggis).
2.
Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal Perbaikan tanaman melalui variasi
somaklonal dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui kultur
jaringan dan radiasi. Variasi somaklonal melalui kultur jaringan umumnya
terjadi pada kultur kalus akibat pengaruh media kultur, sedangkan variasi
somaklonal melalui radiasi dapat dilakukan secara fisik dengan menggunakan
sinar gamma atau secara kimiawi. Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal
yang dilakukan di kelti BSJ menggabungkan kedua metode tersebut. Untuk
mengarahkan keragaman yang timbul akibat pengaruh radiasi, setelah diaradiasi,
eksplan ditanam dalam media kultur yang mengandung agen seleksi (seleksi in
vitro). Teknik ini telah menghasilkan beberapa nomor tanaman potensial, seperti
nilam dengan kadar minyak lebih tinggi, padi dan kedelai tahan alumunium, padi
tahan kekeringan, dan pisang tahan layu Fusarium (masih dalam pengujian).
3. Penyimpanan tanaman secara kultur jaringan Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah yang besar yang perlu dilestarikan. Pelestarian di alam secara konvensional menghadapi kedala hilangnya tanaman tersebut akibat kondisi lingkungan. Penyimpanan secara kultur jaringan memberikan alternatif pemecahan kendala tersebut, terutama untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Penyimpanan secara kultur jaringan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pertumbuhan minimal (minimal growth) dan kriopreservasi. Adapun penelitian penyimpanan secara kultur jaringan telah dilakukan di keti BSJ terhadap tanaman ubi-ubian, sepeti ubi kayu, gembili, dan yam. Perkembangan Teknologi Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan di BB-Biogen. Pada saat ini pemerintah sedang menggalakkan komoditi non-migas, diantaranya untuk sektor pertanian pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan perolehan devisa negara. Salah satu dampak dalam peningkatan ekspor komoditi pertanian adalah kebutuhan bibit yang semakin meningkat pula. Bibit dari suatu varietas unggul yang dihasilkan pemulia tanaman jumlahnya sangat terbatas, sedang bibit tanaman yang dibutuhkan jumlahnya sangat banyak. Di negara maju produksi bibit merupakan suatu usaha agribisnis yang potensial. Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa mendatang. Pengadaan bibit pada suatu tanaman yang akan dieksploitasi secara besar-besaran dalam waktu yang cepat akan sulit dicapai dengan perbanyakan melalui teknik konvensional. Salah satu teknologi harapan yang banyak dibicarakan dan telah terbukti memberikan keberhasilan adalah melalui teknik kultur jaringan. Teknologi tersebut telah banyak digunakan untuk pengadaan bibit terutama pada berbagai tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan karena faktor perbanyakannya yang tinggi. Bibit dari varietas unggul yang mampu bersaing di pasaran internasional yang jumlahnya sangat sedikit dapat segera dikembangkan melalui kultur jaringan. Menyadari pentingnya peranan kultur jaringan dalam menunjang program pengembangan pertanian maka BB-Biogen telah lama memanfaatkan teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman.
3. Penyimpanan tanaman secara kultur jaringan Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah yang besar yang perlu dilestarikan. Pelestarian di alam secara konvensional menghadapi kedala hilangnya tanaman tersebut akibat kondisi lingkungan. Penyimpanan secara kultur jaringan memberikan alternatif pemecahan kendala tersebut, terutama untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Penyimpanan secara kultur jaringan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pertumbuhan minimal (minimal growth) dan kriopreservasi. Adapun penelitian penyimpanan secara kultur jaringan telah dilakukan di keti BSJ terhadap tanaman ubi-ubian, sepeti ubi kayu, gembili, dan yam. Perkembangan Teknologi Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan di BB-Biogen. Pada saat ini pemerintah sedang menggalakkan komoditi non-migas, diantaranya untuk sektor pertanian pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan perolehan devisa negara. Salah satu dampak dalam peningkatan ekspor komoditi pertanian adalah kebutuhan bibit yang semakin meningkat pula. Bibit dari suatu varietas unggul yang dihasilkan pemulia tanaman jumlahnya sangat terbatas, sedang bibit tanaman yang dibutuhkan jumlahnya sangat banyak. Di negara maju produksi bibit merupakan suatu usaha agribisnis yang potensial. Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa mendatang. Pengadaan bibit pada suatu tanaman yang akan dieksploitasi secara besar-besaran dalam waktu yang cepat akan sulit dicapai dengan perbanyakan melalui teknik konvensional. Salah satu teknologi harapan yang banyak dibicarakan dan telah terbukti memberikan keberhasilan adalah melalui teknik kultur jaringan. Teknologi tersebut telah banyak digunakan untuk pengadaan bibit terutama pada berbagai tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan karena faktor perbanyakannya yang tinggi. Bibit dari varietas unggul yang mampu bersaing di pasaran internasional yang jumlahnya sangat sedikit dapat segera dikembangkan melalui kultur jaringan. Menyadari pentingnya peranan kultur jaringan dalam menunjang program pengembangan pertanian maka BB-Biogen telah lama memanfaatkan teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman.
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan studi pustaka yang kami
lakukan dari jurnal “Perubahan Bentuk Planlet Pisang Raja Sereh Hasil Mutasi
dengan Ethyl Methane Sulphonate (EMS)
Secara In Vitro”, dapat
disimpulkan bahwa data-data yang menunjukkan perubahan bentuk morfologi planlet
pisang raja sereh hasil mutasi dengan EMS secara in vitro didapatkan 4 variasi
morfologi. Karakter morfologi yang paling tinggi adalah waktu muncul tunas
yaitu 7,54 dengan koefisien keragaman 84,33 %. Perlakuan dengan mutagen EMS
secara In Vitro juga menimbulkan waktu
yang bervariasi pada munculnya daun pertama pada setiap planlet.
Untuk jurnal “Induksi Keragaman Somaklonal dengan Iradiasi Sinar Gamma dan Seleksi In Vitro Kalus Pisang RajabuluMenggunaka
Asam Fusarat serta Regenerasi dan Aklimatisasi Planlet”, dapat disimpulkan
bahwa media terbaik untuk induksi kalus pada pisang rajabulu adalah media MS +
2,4 – D 5 mg/L + BA 0,5 mg/L + cain hidrolisat 500 mg/L. iradiasi dengan dosis
10 Gy menghasilkan tunas yang mampu berproliferasi pada media seleksi asam
fusarat 30 dan 45 mg/L. Media dasar MS + kinetin 5 mg/L + IAA 0,2 mg/L dapat
memacu pemanjangan tunas dari kalus hasil seleksi In Vitro dan menghasilkan planlet.
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan diaplikasikan
terutama pada tanaman-tanaman yang sulit dikembangbiakan secara generatif, akan
dieksploitasi secara besar-besaran (seperti lada, jahe, pisang, jati, kapolaga,
panili, abaka, berbagai tanaman obat dan tanaman hortikultura, pada tanaman
tahunan penyerbuk silang, (seperti jambu mente, cengkeh, melinjo, asam dan
kapuk), pada berbagai tanaman tahunan seperti tanaman kehutanan (jati, cendana)
dan tanaman buah-buahan. Pada tanaman-tanaman tersebut perbanyakan melalui
kultur jaringan, bila berhasil dapat lebih menguntungkan karena sifatnya akan
sama dengan induknya, seragam, dalam waktu yang singkat bibit dapat diproduksi
dalam jumlah banyak dan bebas penyakit.
Bioteknologi pertanian dapat berperan besar dalam agroindustri baik di sektor hulu maupun hilir. Ditinjau dari ruang lingkup peran kultur jaringan dalam menunjang agroindustri adalah penyediaan bibit yang bermutu dan penciptaan kultivar unggul. Di negara-negara maju, produksi bibit dan penciptaan varietas unggul dilakukan oleh industri benih, sehingga industri ini dapat dianggap sebagai industri hulu yang mendukung agroindustri. Produksi bibit melalui kultur jaringan akan menguntungkan untuk diusahakan secara komersial pada tanaman-tanaman yang sulit diperbanyak secara generatif, bibit diperlukan dalam jumlah yang banyak atau tanaman yang berumah dua. Perbanyakan melalui teknologi tersebut dapat memberikan keuntungan antara lain bibit dapat diproduksi seragam dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat dan bebas hama penyakit. Penggunaan bibit yang memiliki keseragaman tinggi akan meningkatkan kapasitas produksi dan secara tidak langsung memudahkan kegiatan pengolahan sebagai industri hilir dalam agroindustri. Teknik kultur jaringan yang sudah dapat dikembangkan dalam menunjang agroindustri antara lain untuk tanaman-tanaman jahe, jati, pisang, abaka, panili, lada, nilam dan beberapa tanaman hias. Pada tanaman-tanaman tersebut masalah utama yang dihadapi dalam pengembangannya adalah serangan penyakit dan penyebaran penyakit yang cepat dari suatu daerah ke daerah lainnya umumnya melalui bahan tanaman. Ditinjau dari sudut agribisnis, produksi bibit melalui kultur jaringan bibit yang dihasilkan dapat bebas penyakit dan memberikan beberapa keuntungan seperti memperlancar masuknya bibit ke negara-negara pengimpor, meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran penyakit ke sentra-sentra produksi baru. Disamping itu teknik kultur jaringan dapat memberikan jaminan yang lebih tinggi pada saat permintaan akan bibit meningkat.
Perbanyakan tanaman secara klonal yang telah dicoba diperbanyak melalui kultur jaringan antara lain pada tanaman jahe (Zingiber officinale), touki (Angelica acutiloba), kapolaga (Eletaria cardamomum), Mentha sp., Geranium (Pelargonium graveolens dan P. tomentosum), panili (Vanilla planifolia), abaka (Musa textilis), nilam (Pogostemon cablin), rami (Boechmeria nivea), lada (Piper nigrum), pyrethrum (Chrysanthemum cinerarifolium), gerbera (Gerbera jamesonii), seruni (Chrysanthemum morifolium), pulasari (Alyxia stellata), pule pandak (Rauwolfia serpentina), temu putri (Curcuma petiolata), purwoceng (Pimpinella pruatjan), inggu (Ruta angustifolia), daun dewa (Gynura procumbens), beberapa tanaman pisang (Musa sp.) dan jati (Tectona grandis).Pada tanaman tersebut, faktor multiplikasinya cukup tinggi sehingga kultur jaringan dapat mempercepat pengembangan varietas yang dihasilkan para pemulia. Hampir semua bibit tanaman hasil kultur jaringan telah ditanam di lapangan untuk melihat pola pertumbuhan dan produktivitasnya terutama pada tanaman jahe, kapolaga, abaka, nilam, pisang, jati dan rami. Perkembangan bibit di lapangan pada umumnya normal, kecuali pada jahe yang menghasilkan rimpang yang lebih kecil dari bibit asal rimpang konvensional.Untuk tanaman abaka, pertanaman asal bibit kultur jaringan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik daripada bibit asal konvensional. Disamping itu tanaman asal kultur jaringan menunjukkan adanya pertumbuhan keseragaman yang tinggi.Pada umur dua tahun, tanaman asal kultur jaringan menghasilkan pertumbuhan, komponen produksi dan produksi serat tiap batang tidak berbeda dengan asal bibit konevensional, namun jumlah tanaman dewasa tiap rumpun lebih banyak dan waktu berbunga lebih lambat dibandingkan dengan tanaman asal bibit konvensional. Dengan demikian bibit asal kultur jaringan diduga dapat menghasilkan serat yang lebih tinggi daripada asal bibit konvensional.Selain perbanyakan secara klonal telah pula dilakukan perbanyakan generatif (biji) pada tanaman panili dan anggrek. Panili seperti halnya anggrek mempunyai biji yang ukurannya sangat kecil, untuk itu dicoba perkecambahannya melalui kultur jaringan. Hasil percobaan menunjukkan persentase dan kecepatan tumbuhnya meningkat dibandingkan dengan pengecambahan secara konvensional.BB-Biogen mempunyai laboratorium kultur jaringan yang dapat digunakan untuk perbanyakan berbagai tanaman. Pada tanaman yang mudah diperbanyak secara konvensional antara lain untuk hibrida baru, tanaman yang langka, tanaman introduksi dengan jumlah tanaman awal yang terbatas maka kultur jaringan dapat berperan memperbanyak pada tahap awal dalam suatu proses produksi bibit. Apabila bibit yang dihasilkan jumlahnya telah memadai maka pada proses produksi bibit benihnya dapat dilakukan secara konvensional. Disamping itu teknologi produksi bibit yang diperoleh di BB-Biogen dapat dilakukan pada laboratorium kultur jaringan yang akan memperbanyak secara besar-besaran.Pada umumnya laboratorium kultur jaringan yang telah bergerak secara komersial tidak melakukan penelitian tetapi mengadopsi teknologi yang telah dihasilkan oleh Institusi Penelitian. Disamping itu biakan yang ada dalam botol yang telah tanggap terhadap media tumbuh (faktor pertumbuhan membentuk tunas tinggi) dapat digunakan sebagai sumber bahan tanam bagi perbanyakan selanjutnya melalui kultur jaringan.Dari paparan tersebut di atas terbukti bahwa kultur jaringan merupakan teknologi potensial dalam menunjang agroindustri, antara lain untuk perbanyakan tanaman yang akan dieksploitasi secara luas. Dengan keseragaman pertumbuhan tanaman yang tinggi di lapang akan mempermudah kegiatan pengolahan sebagai industri hilir. Disamping itu, dengan bibit yang dihasilkan dapat bebas penyakit maka dalam era globalisasi dapat memudahkan pertukaran antar negara.
Bioteknologi pertanian dapat berperan besar dalam agroindustri baik di sektor hulu maupun hilir. Ditinjau dari ruang lingkup peran kultur jaringan dalam menunjang agroindustri adalah penyediaan bibit yang bermutu dan penciptaan kultivar unggul. Di negara-negara maju, produksi bibit dan penciptaan varietas unggul dilakukan oleh industri benih, sehingga industri ini dapat dianggap sebagai industri hulu yang mendukung agroindustri. Produksi bibit melalui kultur jaringan akan menguntungkan untuk diusahakan secara komersial pada tanaman-tanaman yang sulit diperbanyak secara generatif, bibit diperlukan dalam jumlah yang banyak atau tanaman yang berumah dua. Perbanyakan melalui teknologi tersebut dapat memberikan keuntungan antara lain bibit dapat diproduksi seragam dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat dan bebas hama penyakit. Penggunaan bibit yang memiliki keseragaman tinggi akan meningkatkan kapasitas produksi dan secara tidak langsung memudahkan kegiatan pengolahan sebagai industri hilir dalam agroindustri. Teknik kultur jaringan yang sudah dapat dikembangkan dalam menunjang agroindustri antara lain untuk tanaman-tanaman jahe, jati, pisang, abaka, panili, lada, nilam dan beberapa tanaman hias. Pada tanaman-tanaman tersebut masalah utama yang dihadapi dalam pengembangannya adalah serangan penyakit dan penyebaran penyakit yang cepat dari suatu daerah ke daerah lainnya umumnya melalui bahan tanaman. Ditinjau dari sudut agribisnis, produksi bibit melalui kultur jaringan bibit yang dihasilkan dapat bebas penyakit dan memberikan beberapa keuntungan seperti memperlancar masuknya bibit ke negara-negara pengimpor, meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran penyakit ke sentra-sentra produksi baru. Disamping itu teknik kultur jaringan dapat memberikan jaminan yang lebih tinggi pada saat permintaan akan bibit meningkat.
Perbanyakan tanaman secara klonal yang telah dicoba diperbanyak melalui kultur jaringan antara lain pada tanaman jahe (Zingiber officinale), touki (Angelica acutiloba), kapolaga (Eletaria cardamomum), Mentha sp., Geranium (Pelargonium graveolens dan P. tomentosum), panili (Vanilla planifolia), abaka (Musa textilis), nilam (Pogostemon cablin), rami (Boechmeria nivea), lada (Piper nigrum), pyrethrum (Chrysanthemum cinerarifolium), gerbera (Gerbera jamesonii), seruni (Chrysanthemum morifolium), pulasari (Alyxia stellata), pule pandak (Rauwolfia serpentina), temu putri (Curcuma petiolata), purwoceng (Pimpinella pruatjan), inggu (Ruta angustifolia), daun dewa (Gynura procumbens), beberapa tanaman pisang (Musa sp.) dan jati (Tectona grandis).Pada tanaman tersebut, faktor multiplikasinya cukup tinggi sehingga kultur jaringan dapat mempercepat pengembangan varietas yang dihasilkan para pemulia. Hampir semua bibit tanaman hasil kultur jaringan telah ditanam di lapangan untuk melihat pola pertumbuhan dan produktivitasnya terutama pada tanaman jahe, kapolaga, abaka, nilam, pisang, jati dan rami. Perkembangan bibit di lapangan pada umumnya normal, kecuali pada jahe yang menghasilkan rimpang yang lebih kecil dari bibit asal rimpang konvensional.Untuk tanaman abaka, pertanaman asal bibit kultur jaringan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik daripada bibit asal konvensional. Disamping itu tanaman asal kultur jaringan menunjukkan adanya pertumbuhan keseragaman yang tinggi.Pada umur dua tahun, tanaman asal kultur jaringan menghasilkan pertumbuhan, komponen produksi dan produksi serat tiap batang tidak berbeda dengan asal bibit konevensional, namun jumlah tanaman dewasa tiap rumpun lebih banyak dan waktu berbunga lebih lambat dibandingkan dengan tanaman asal bibit konvensional. Dengan demikian bibit asal kultur jaringan diduga dapat menghasilkan serat yang lebih tinggi daripada asal bibit konvensional.Selain perbanyakan secara klonal telah pula dilakukan perbanyakan generatif (biji) pada tanaman panili dan anggrek. Panili seperti halnya anggrek mempunyai biji yang ukurannya sangat kecil, untuk itu dicoba perkecambahannya melalui kultur jaringan. Hasil percobaan menunjukkan persentase dan kecepatan tumbuhnya meningkat dibandingkan dengan pengecambahan secara konvensional.BB-Biogen mempunyai laboratorium kultur jaringan yang dapat digunakan untuk perbanyakan berbagai tanaman. Pada tanaman yang mudah diperbanyak secara konvensional antara lain untuk hibrida baru, tanaman yang langka, tanaman introduksi dengan jumlah tanaman awal yang terbatas maka kultur jaringan dapat berperan memperbanyak pada tahap awal dalam suatu proses produksi bibit. Apabila bibit yang dihasilkan jumlahnya telah memadai maka pada proses produksi bibit benihnya dapat dilakukan secara konvensional. Disamping itu teknologi produksi bibit yang diperoleh di BB-Biogen dapat dilakukan pada laboratorium kultur jaringan yang akan memperbanyak secara besar-besaran.Pada umumnya laboratorium kultur jaringan yang telah bergerak secara komersial tidak melakukan penelitian tetapi mengadopsi teknologi yang telah dihasilkan oleh Institusi Penelitian. Disamping itu biakan yang ada dalam botol yang telah tanggap terhadap media tumbuh (faktor pertumbuhan membentuk tunas tinggi) dapat digunakan sebagai sumber bahan tanam bagi perbanyakan selanjutnya melalui kultur jaringan.Dari paparan tersebut di atas terbukti bahwa kultur jaringan merupakan teknologi potensial dalam menunjang agroindustri, antara lain untuk perbanyakan tanaman yang akan dieksploitasi secara luas. Dengan keseragaman pertumbuhan tanaman yang tinggi di lapang akan mempermudah kegiatan pengolahan sebagai industri hilir. Disamping itu, dengan bibit yang dihasilkan dapat bebas penyakit maka dalam era globalisasi dapat memudahkan pertukaran antar negara.
Keragaman
somaklonal adalah keragaman genetik yang terjadi pada sel-sel somatik karena
adanya keragaman kromosom. Oleh karena itu keragaman genetik bisa terjadi pada
tingkat sel, protoplasma, kalus, jaringan dan morfologi tanaman yang telah
mengalami regenerasi. Keragaman disebabkan karena adanya perubahan jumlah dan
struktur kromosom. Stabilitas genetik dalam perbanyakan tanaman melalui kultur
jaringan perlu dipertahankan, oleh karena itu perubahan genetik sangat
dihindarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan genetik yang sering
terjadi dalam kultur sel atau jaringan disebabkan antara lain adanya
poliploidi, aneuploidi, kerusakan kromosom, delesi, translokasi, amplifikasi
gen dan mutasi. Keragaman genetik dalam kultur jaringan diekspresikan dalam
bentuk variasi sifat-sifat pada tanaman yang beregenerasi yang kemudian dapat
diturunkan baik melalui perbanyakan secara seksual maupun vegetatif. Keragaman genetik terjadi pada sel-sel yang dikulturkan,
tanaman yang berasal dari sel-sel tersebut disebut variasi somaklonal.
Terminologi lain adalah variasi atau keragaman gametoklonal yang mengacu pada
keragaman yang terjadi pada polen tanaman, tetapi istilah ini jarang dipakai.
Secara umum, istilah keragaman somaklonal digunakan untuk keragaman genetik yang
terjadi pada semua jenis sel atau tanaman yang berasal dari sel-sel yang
dikulturkan secara in vitro. Keragaman tanaman hasil kultur jaringan atau sel
menunjukkan sifat kualitatif maupun kuantitatif yang dapat diturunkan.
Keragaman somaklonal yang terjadi pada biakan in vitro bisa diakibatkan karena sel somatik membelah secara tidak sempurna baik karena suhu yang tinggi, genotipe, atau perlakuan zat kimia yan menyebabkan replikasi kromosom tidak berjalan sempurna. Pada kultur jaringan sering terjadi bila jaringan yang dikulturkan mengalami pembelahan sel yang sangat intensif dan membentuk kalus. Keragaman sel-sel somatik tersebut dapat dimanfaatkan untuk diseleksi sifat-sifat unggulnya.
Variasi pada tingkat kromosom akan menyebabkan perubahan fenotipe tanaman baik yang bersifat permanen maupun tidak permanen. Upaya meningkatkan variasi sel somatik melalui kultur sel atau kalus banyak dilakukan untuk mendapatkan galur-galur mutan secara cepat. Galur-galur mutan tersebut antara lain ditujukan untuk: (i) mendapatkan tanaman yang mampu tumbuh pada cekaman lingkungan seperti kadar Al tinggi, kadar garam yang tinggi, kekeringan dll.(ii) mendapatkan tanaman yang resisten terhadap hama, penyakit dan herbisida, (iii) memproduksi senyawa kimia tertentu (asam amino, metabolit sekunder) dalam jumlah yang tinggi.
Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keragaman pada sel somatik antara lain dengan induksi mutasi menggunakan radiasi atau bahan kimia mutagen. Radiasi dapat menggunakan radiasi sinar UV, sinar X-ray, atau sinar gamma. Radiasi dari sinar radioaktif dapat menyebabkan mjtasi pada tingkat kromosom ataupun DNA. Pengaruh radiasi terhadap mutasi tergantung pada tipe radiasi, pengaruh lingkungan sel sebelum dan sesudah radiasi, dan fase pertumbuhan tanaman yang diradiasi. Radiasi jaringan menghasilkan mutasi hanya pada bagian tertentu dari jaringan yang dapat mengakibatkan terbentuknya khimera. Penggunaan mutagen kimia untuk mendapatkan keragaman genetik pada sel somatik akan menyebabkan mutasi pada tingkat DNA. Mutasi ini dapat mengubah struktur asam amino tetentu, menyebabkan penggandaan kromosom atau menginaktifkan DNA. Mutagen kimia yang banyak digunakanuntuk induksi mutasi adalah: Ethyl metane sulfonate (EMS), methyl metane sulfonaate (MMS), Chloro choline chlorida, 5-bromourasil, dan 5-bromodeoxyuridine.
DAFTAR PUSTAKA
Ahlowalia,
B.S. 1986. Limitations to the use of somaclonal variation in crop improvement.
In Semal, J. (Ed.) Somaclonal variation and crop improvement. Martinus Nijhoff
Publisher, Dordrecht. p. 14-27.
Ahlowalia,
B.S. and M. Maluszynski. 2001. Induced mutation-A new paradigm in plant
breeding. Euphytica 118:167-173.
Adkins,
S.W.R. Kunanuvatchaidah, and I.D. Godwin, 1995. Somaclonal variation in rice:
Drought tolerance
Hasibuan, Idris, Ikhwan . 2011. Makalah Kultur Jaringan Pisang. Universitas Negeri Medan. Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar