Rabu, 15 Juni 2016

Penegendalian hayati terhadap hama dan penyakit pada tanaman kubis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kubis (Brassica oleracea var. capitata L.) merupakan salah satu sayuran penting, terutama di dataran tinggi. Sejak awal tahun ’70-an kubis juga ditanam di beberapa daerah dataran rendah, seperti di daerah Yogyakarta, Klaten, dan Jember. Kubis varietas KK Cross (Subhan 1989; Permadi & Djuariah 1992) dan Green Baru (Suryadi & Permadi 1998) dapat beradaptasi dengan baik dan mempunyai hasil krop tinggi dengan umur genjah, cocok untuk dikembangkan di dataran rendah dan dataran medium. Tanaman kubis-kubisan lainnya yang penting adalah petsai, kubis bunga, dan brokoli.
Menurut laporan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura (1999), luas panen kubis di Indonesia dalam tahun 1998 adalah 65.974 hektar dengan total produksi 1.383.398 ton. Sejak lima tahun terakhir (1994-1998), rata-rata hasil panen atau produktivitas kubis relatif konstan, yaitu sekitar 21 t/ ha. Nilai ini masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas kubis di daerah subtropik seperti di Jerman (37,6 t/ha), Nederland (49,3 t/ha), dan Amerika Serikat (23 t/ha) (Nieuwhof 1969). Hal itu antara lain disebabkan oleh (Permadi 1993) : (1) seleksi varietas-varietas impor yang dilakukan di daerah subtropik, (2) masa pertumbuhan tiap hari di daerah subtropik lebih lama daripada masa pertumbuhannya di Indonesia (16-18 jam penyinaran setiap harinya di daerah subtropik), dan (3) adanya gangguan hama/penyakit yang dapat menggagalkan panen kubis (Sastrosiswojo 1994).


Kubis mempunyai arti ekonomi yang penting sebagai sumber pendapatan petani dan sumber gizi (vitamin A dan C) bagi masyarakat. Jika rata-rata pemilikan lahan petani sekitar 0,4 hektar, maka ada sekitar 165.000 petani terlibat dalam usahatani kubis, belum termasuk petani kubis-kubisan lainnya. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan produksi kubis dan kubis-kubisan lainnya perlu dilakukan.
Dalam upaya mengatasi masalah hama/penyakit tanaman kubis, pada umumnya para petani menekankan pada pengendalian secara kimiawi. Menurut laporan Woodford et al. (1981), biaya penggunaan pestisida pada tanaman kubis yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Bandung adalah sebesar 30% dari total biaya produksi. Umumnya pestisida digunakan secara intensif, baik secara tunggal maupun campuran dari beberapa jenis pestisida, dengan konsentrasi penyemprotan melebihi rekomendasi dan interval penyemprotan yang pendek, 1-2 kali/minggu (Sastrosiswojo 1987). Dampak negatif yang timbul sebagai akibat penggunaan pestisida yang intensif tersebut antara lain adalah : (1) hama ulat daun kubis (Plutella xylostella L.) menjadi resisten terhadap beberapa jenis insektisida kimia dan mikroba (Sastrosiswojo et al. 1989; Setiawati 1996), (2) resurgensi hama P. xylostella terhadap Asefat, Permetrin dan Kuinalfos (Sastrosiswojo 1988), (3) residu pestisida yang dapat membahayakan konsumen kubis (Soeriaatmadja & Sastrosiswojo 1988), dan (4) terganggunya kehidupan dan peranan parasitoid Diadegma semiclausum sebagai musuh alami penting hama P. xylostella (Sastrosiswojo 1987).
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) bertujuan membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin, tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi kubis masih dapat dicapai.
Klasifikasi Tanaman Kubis
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas        : Dilleniidae
Ordo                : Capparales
Famili              : Brassicaceae (suku sawi-sawian)
Genus              : Brassica
Spesies            : Brassica oleracea var. capitata L.
1.2 Rumusan Masalah
·         Apa itu tanaman kubis ?
·         Hama dan penyakit apa yang menyerang tanaman kubis ?
·         Bagaimana penggunaan musuh alami untuk hama dan penyakit pada tanaman kubis ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hama Dan Penyakit Penting pada Tanaman Kubis
2.1.1 Ulat tanah, Agrotis ipsilon (Lepidoptera:Noctuidae)
a. Morfologi dan biologi serangga dewasa (Sujud & Emka 1974; Kalshoven 1981)
Sayap depan ngengat berwarna coklat, sedangkan sayap belakang berwarna putih dengan tepi coklat keabu-abuan. Panjang sayap terentang 40-50 mm. Panjang tubuh sekitar 2,2 mm. Ngengat mampu hidup sekitar 10-20 hari. Ngengat aktif pada senja/malam hari. Nisbah kelamin betina dengan jantan adalah 1:1.
• Telur
Bentuk telur bulat panjang dengan garis tengah kira-kira 0,5 mm. Warnanya putih-krem, kemudian berubah menjadi kuning kemerahan dan sebelum menetas berwarna kehitam-hitaman. Telur diletakkan pada pangkal tanaman muda gulma di sekitar tanaman inang. Jumlah telur tiap betina 500-2.500 butir, yang menetas dalam waktu sekitar enam hari.
• Larva
Stadium larva terdiri atas empat sampai lima instar. Larva instar pertama berwarna kuning sampai kelabu kekuning-kuningan. Kepala, pronotum, dan ujung abdomen berwarna hitam. Larva dewasa berwarna coklat tua sampai coklat kehitam-hitaman, biasanya dengan garis coklat pada dua sisi tubuh dan bercak berwarna coklat muda pada sisi dorsal. Tubuh larva selalu tampak berkilau. Panjang larva tua sekitar 30-35 mm. Larva aktif pada senja dan malam hari. Pada siang hari, larva bersembunyi di permukaan tanah di sekitar batang tanaman muda, pada celah-celah atau bongkahan tanah kering. Pada saat istirahat, posisi tubuh larva sering melingkar. Ulat tanah dapat berpindah-pindah sampai sejauh 20 m. Masa larva lamanya 18 hari. Larva tua bersifat kanibalistik (saling membunuh).

• Pupa Pupa berwarna coklat terang berkilau atau coklat gelap, berada beberapa sentimeter di
bawah permukaan tanah. Panjang pupa kira-kira 20-30 mm. Tempat terbentuknya pupa mempunyai hubungan dengan keadaan air dalam tanah. Semakin kering keadaan tanah, semakin dalam letak pembentukan pupa. Lamanya pembentukan pupa tidak terpengaruh oleh keadaan kelembaban tanah. Masa pupa lamanya lima sampai enam hari.
• Daur hidup
Daur hidup Agrotis ipsilon dari telur sampai dewasa sekitar 36-42 hari. Lamanya daur hidup Agrotis ipsilon tergantung pada tinggi rendahnya suhu udara, semakin rendah suhu udara semakin lama daur hidupnya dan sebaliknya (Kalshoven 1981).
b. Daerah sebar dan ekologi
Agrotis ipsilon dilaporkan terdapat di seluruh negara Asia, termasuk di Indonesia, yaitu pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi. Populasi larva biasanya meningkat pada awal musim kemarau (Maret-April) di dataran tinggi. Di musim hujan, umumnya populasi larva rendah (Kalshoven 1981). Puncak populasi larva terjadi pada pertengahan bulan Juni. Pada saat tersebut bisanya banyak sayuran muda yang ditanam petani, sehingga serangan A. ipsilon secara ekonomis mempunyai arti yang penting (Sujud & Emka 1974).
c. Tanaman inang dan gejala kerusakan
Inang utama ulat tanah adalah tanaman sayuran muda seperti tomat, kubis, petsai, kacang merah, kentang, cabai, dan bawang. Selain itu, ulat tanah juga menyerang tanaman muda jagung, tembakau, kapas, ubi jalar, tebu, teh, kopi, rosela, rerumputan, padi gogo, dan serealia lainnya (Kalshoven 1981).
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau pada tanaman muda. Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal batang atau tanaman kubis sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan berat (Gambar 1). Larva dewasa kadang-kadang membawa potongan-potongan tanaman ke tempat persembunyiannya. Kerusakan berat pada pertanaman kubis muda kadang-kadang terjadi di awal musim kemarau. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan Agrotis ipsilon pada pertanaman kubis muda dapat mencapai 75-90% dari seluruh bibit kubis yang ditanam (Sastrosiswojo 1982).
Pengendalian hayati menggunakan hama pesaing yaitu  nematoda entomogenus




           
2.1.2. Ulat daun kubis, Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae)
a. Morfologi dan biologi
Serangga dewasa berupa ngengat kecil, kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu, dan aktif pada malam hari. Pada sayap depan terdapat tiga buah lekukan (undulasi) yang berwarna putih menyerupai berlian (bahasa Inggris diamond). Oleh sebab itu serangga ini dalam bahasa Inggris disebut diamondback moth. Ngengat P. xylostella tidak kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin. Menurut Harcourt (1954), pada saat tidak m ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa hidup) ngengat betina rata-rata 20,3 hari (Vos 1953). Ngengat betina kawin hanya satu kali (Harcourt 1957).
• Telur
Telur berbentuk telur oval, ukurannya 0,6 mm x 0,3 mm, warnanya kuning, berkilau dan lembek. Ngengat betina meletakkan telur secara tunggal atau dalam kelompok kecil (tiga atau empat butir), atau dalam gugusan (10-20 butir) di sekitar tulang daun pada permukaan daun kubis sebelah bawah (Vos 1953). Ngengat betina bertelur selama 19 hari dan jumlah telur rata-rata sebanyak 244 butir. Lama stadium telur tiga hari (Vos 1953).

• Larva
Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak berbulu,, dan mempunyai lima pasang proleg (Harcourt 1954). Larva P. xylostella terdiri atas empat instar (Vos 1953; Harcourt 1957). Panjang larva dewasa (instar ke-3 dan 4) kira-kira 1 cm. Larva lincah dan jika tersentuh akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri dengan benang halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning (Sastrosiswojo 1987). Rata-rata lamanya stadium larva instar kesatu 3,7 hari, larva instar kedua 2,1 hari, larva instar ketiga 2,7 hari, dan larva instar keempat 3,7 hari (Vos 1953).
• Prapupa dan pupa
Antara larva instar ke-4 dengan prapupa tidak terjadi pergantian kulit (Harcourt 1954). Panjang pupa rata-rata 6,3-7,0 mm dan lebarnya 1,5 mm (Harcourt 1954). Pupa P. xylostella dibungkus kokon (jala sutera) dan diletakkan pada permukaan bagian bawah daun kubis. Menurut Vos (1953), lamanya stadium pupa rata-rata 6,3 hari.
• Daur hidup
Lamanya daur hidup P. xylostella di Segunung (Pacet) pada suhu 16-25 oC rata-rata 21,5 hari (Vos 1953). Menurut Sastrosiswojo (1987), daur hidup P. xylostella di KP Margahayu (Lembang) pada suhu 15,5-20,6 oC rata-rata 22 hari (Gambar 2).
Gambar 2. P. xylostella (Foto : Tonny K. Moekasan)




 b. Daerah sebar dan ekologi
Hama ini bersifat kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat ditemukan di pertanaman kubis di dataran tinggi, pegunungan, atau perbukitan. Namun, karena akhir-akhir ini kubis juga ditanam di dataran rendah, Plutella xylostella juga dapat ditemukan pada pertanaman kubis di dataran rendah. Faktor iklim (curah hujan) dapat mempengaruhi populasi larva P. xylostella. Kematian larva akibat curah hujan lebih banyak terjadi pada larva muda, yakni larva instar ke-1 dan larva instar ke-2 daripada larva instar ke-3 dan larva instar ke-4. Oleh karena itu, umumnya populasi larva P. xylostella tinggi di musim kemarau (bulan April sampai dengan Oktober) atau apabila keadaan cuaca kering selama beberapa minggu. Populasi larva yang tinggi terjadi setelah kubis berumur enam sampai delapan minggu (Sudarwohadi 1975).
Hama Plutella xylostella juga dapat menyerang tanaman kubis yang sedang membentuk krop sampai panen. Keadaan ini dapat terjadi jika (Sastrosiswojo 1987) :
(1) populasi musuh alaminya, yaitu parasitoid Diadegma  semiclausum rendah;
(2) tidak ada hama pesaing yang penting, yaitu ulat krop kubis (C. binotalis);
(3) hama Plutella xylostella telah resisten terhadap insektisida yang digunakan; dan
(4) populasi larva Plutella. xylostella sangat tinggi.
Keadaan demikian menyebabkan hama Plutella xylostella dapat merusak krop kubis sehingga menggagalkan panen, karena kerusakan yang ditimbulkan bersama-sama hama C. binotalis. dapat mencapai 100% (Sudarwohadi 1975).
c. Tanaman inang dan gejala kerusakan
Plutella xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih dan jenis kubis lainnya seperti kubis merah, petsai, kubis bunga, kaelan, selada air, sawi jabung, radis, turnip, dan lain-lain. Selain itu, gulma kubis-kubisan yang juga dapat menjadi inang P. xylostella adalah Capsella bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine hirsuta (rumput selada pahit berbulu), Brassica pachypoda, Nasturtium officinale, dan Lepidium sp. (Sastrosiswojo 1987).
Biasanya hama P. xylostella merusak tanaman kubis muda. Meskipun demikian hama P. xylostella seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop jika tidak terdapat hama pesaingnya, yaitu C. binotalis. Larva P. xylostella instar ketiga dan keempat makan permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun membesar, lapisan epidermis pecah, sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingkat populasi larva tinggi, akan terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis, sehingga yang tinggal hanya tulang-tulang daun kubis (Gambar 3). Serangan P. xylostella yang berat pada tanaman kubis dapat menggagalkan panen (Sastrosiswojo 1987).

  
Gambar 3. Gejala serangan hama P. xylostella pada tanaman kubis (Foto : Tonny K. Moekasan)

2.1.3. Ulat krop kubis, Crocidolomia binotalis (Lepidoptera : Pyralidae)
a. Morfologi dan biologi (Oever 1973; Sastrosiswojo & Setiawati 1992)
• Serangga dewasa
Pada Crocidolomia binotalis dewasa berwarna hitam, sedangkan perutnya berwarna coklat kemerahan, panjang tubuhnya kira-kira 1,1 cm. Ngengat aktif pada malam hari. Sayap depan ngengat jantan mempunyai rumbai dari rambut halus yang berwarna gelap pada bagian tepi-depan (anterior). Panjang tubuh rata-rata untuk serangga jantan 10,4 mm dan serangga betina 9,6 mm.
• Telur
diletakkan dalam kelompok menyerupai genting-genting rumah dan berwarna hijau muda. Kelompok telur dapat ditemukan pada permukaan bawah daun, di tepi daun, atau di dekat tulang daun. Jumlah telur rata-rata 48 butir dan ukurannya 2,6 mm dan 4,3 mm. Masa telur tiga sampai enam hari dan rata-rata empat hari.
• Larva
Larva berwarna hijau muda kecoklatan dan terdiri atas lima instar. Pada bagian sisi dan bagian atas tubuh larva terdapat garis-garis putih sepanjang tubuhnya. Larva muda bergerombol pada permukaan bawah daun kubis. Larva “tua” (instar ke-4 dan ke-5) panjangnya kira-kira 2 cm, bersifat malas, dan selalu menghindari cahaya matahari. Masa larva 11-17 hari dengan rata-rata 14 hari pada suhu udara 26-33,2 oC.
• Pupa
Biasanya pembentukan pupa terjadi pada permukaan tanah. Pupa berwarna kuning kecoklatan dan berukuran lebar 3 mm serta panjang 10 mm. Masa pupa 9-13 hari dan rata-rata 10 hari pada suhu udara 26-33 oC.
• Daur hidup Dalam kondisi laboratorium, (suhu 16-22,5 oC dan kelembaban 60-80%), lamanya daur hidup Crocidolomia. binotalis adalah 30-41 hari (Gambar 4).


Gambar 4. Crocidolomia binotalis (Foto : Tonny K. Moekasan)
b. Daerah sebar dan ekologi
Crocidolomia binotalis umum dijumpai pada pertanaman kubis, baik yang diusahakan maupun pada tanaman kubis liar. Di pulau Jawa, C. binotalis dijumpai menyerang kubis, baik di perbukitan maupun di dataran rendah. C. binotalis merupakan hama utama kedua setelah P. xylostella pada tanaman kubis. Dua jenis hama tersebut seringkali didapatkan saling bergantian menempati kedudukan sebagai hama utama pada tanaman kubis. Daerah sebar C. binotalis dilaporkan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Australia, Afrika Selatan, Tanzania, dan kepulauan Pasifik (Kalshoven 1981).
Menurut hasil penelitian Oever (1973), Sudarwohadi (1975), dan Thayib (1983) di KP Segunung, puncak populasi telur terjadi pada bulan Februari, Mei dan Juli-Agustus. Puncak populasi larva terjadi pada bulan Maret, Juni dan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya korelasi negatif antara populasi larva C. binotalis dengan tinggi/rendahnya curah hujan. Pada tanaman kubis, populasi larva meningkat mulai dua minggu setelah tanam dan mencapai puncaknya pada umur enam sampai delapan minggu setelah tanam lalu menurun sampai saat panen kubis.
c. Tanaman inang dan gejala kerusakan
Tanaman inang C. binotalis adalah berbagai jenis kubis seperti kubis putih, kubis bunga, petsai, brokoli, dan lain-lainnya. Selain itu tanaman turnip, radis, sawi jabung, dan selada air juga merupakan inang C. binotalis (Sastrosiswojo 1987).




Gejala serangan Crocidolomia. binotalis pada tanaman kubis (Foto : Tonny K. Moekasan)
sampai ke-5 memencar dan menyerang pucuk tanaman kubis, sehingga menghancurkan titik tumbuh. Akibatnya, tanaman mati atau batang kubis membentuk cabang dan beberapa krop berukuran kecil (Sastrosiswojo 1987). Serangan hama C. binotalis pada tanaman kubis yang sudah membentuk krop akan menghancurkan krop atau menurunkan kualitas krop, sehingga kubis tidak laku dijual (Gambar 5).

2.1.4. Penyakit tepung berbulu
Penyakit ini umumnya terdapat pada tanaman sayuran muda seperti sawi jabung, turnip, radis, kubis, dan kubis bunga (Singh 1980; Semangun 1989). Penyakit ini tersebar luas di berbagai negara penanam kubis dan jenis kubis-kubisan lainnya (Cruciferae) seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Semangun 1989). Di Indonesia, penyakit ini mulai diketahui dan diperhatikan sejak tahun 1974 (Harmidi & Wijorini 1976 dalam Semangun 1989).
a. Penyebab penyakit
Penyakit tepung berbulu disebabkan oleh jamur Peronospora parasitica Pers.ex.Fr. (Singh 1980; Semangun 1989), yang membentuk konidiofor melalui mulut kulit (stomata), bercabang-cabang dikotom enam sampai delapan kali, sehingga keseluruhannya mirip dengan pohon dan tingginya 100-300 μm (mikron). Konidium berbentuk jorong atau bulat telur, hialin, dengan ukuran (24-27) μm (mikron). Konidium berbentuk jorong atau bulat telur, hiralin, dengan ukuran (24-27) μm x (15 x 20) μm. Konidium mudah lepas dan berkecambah dengan membentuk pembuluh kecambah.
Menurut Semangun (1989), di negara-negara lain P. parasitica membentuk oospora di dalam jaringan tumbuhan. Oogonium bulat dan hialin serta dibuahi oleh satu anteridium. Oospora bulat, dengan garis tengah 26-43 μm, terbungkus oleh lipatan-lipatan berbincul-bincul.
Oospora berkecambah dengan membentuk pembuluh kecambah. Adanya oospora jamur ini di Indonesia belum pernah dilaporkan.
P. parasitica adalah parasit obligat. Miseliumnya hanya berkembang di sela-sela sel dan membentuk haustorium yang masuk ke dalam rongga sel. Haustorium berbentuk gada atau berbentuk jari, bercabang-cabang, kadang-kadang sangat besar, sehingga hampir memenuhi rongga sel. Jamur ini mempunyai tanaman kubis dan kubis bunga, dan ada yang hanya menginfeksi petsai (Semangun 1989; Singh 1980).
b. Daur hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit tepung berbulu
Menurut Semangun (1989), kemungkinan besar jamur ini dapat bertahan dari musim ke musim di Indonesia karena selalu terdapat tanaman kubis dan kubis bunga di lapangan. Ras yang dapat menyerang kubis mempunyai sifat yang agak khusus, sehingga mungkin tidak dapat bertahan pada tumbuhan lain. Di negara-negara lain, P. parasitica terutama bertahan dalam bentuk oospora dalam sisa-sisa tanaman sakit di dalam tanah. Selain itu biji kubis dapat terkontaminasi dan dapat menularkan penyakit ke persemaian. Di persemaian atau di pertanaman kubis, konidium dipencarkan oleh angin.
Penyakit tepung berbulu sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Penyakit ini berkembang paling baik pada suhu 10-15 oC, pada cuaca mendung atau di tempat yang teduh, sehingga embun terdapat sepanjang hari (Walker 1952). Penyakit ini lebih banyak terdapat di persemaian. Namun, agar berbeda dengan penyakit tepung berbulu pada umumnya, daun tua ternyata lebih rentan terhadap penyakit ini (Semangun 1989).
c. Gejala penyakit dan akibat serangan
Menurut Semangun (1989) dan Singh (1980), penyakit tepung berbulu terutama timbul di persemaian, meskipun kadang-kadang juga terdapat pada tanaman di lapangan. Penyakit ini dicirikan oleh adanya bercak bercak yang berwarna coklat-keunguan pada permukaan bawah daun. Dari sisi atas daun terlihat bahwa jaringan di antara tulang-tulang daun menguning, mirip dengan gejala yang terjadi karena kekurangan unsur hara tertentu. Selanjutnya bagian yang menguning berubah menjadi coklat-ungu dan tekstur daun menjadi seperti kertas, daun-daun bawah dapat rontok. Pada permukaan bawah daun terdapat kapang putih seperti tepung.
2.1.5. Penyakit akar pekuk (akar gada)
Penyakit akar pekuk (akar gada, akar bengkak atau dalam bahasa Inggris clubroot) untuk pertama kali diketahui di Indonesia pada tahun 1975 (Suhardi et al. 1976). Pada tahun 1975 dan 1976, daerah pencar penyakit ini masih terbatas di sekitar Lembang, Bandung. Namun pada tahun 1979, penyakit ini sudah terdapat di seluruh Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1993 dan 1994 dilaporkan bahwa daerah pencar penyakit akar pekuk sudah meluas di pusat produksi tanaman kubis di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan (Djatnika 1993; Mudjiono & Nurimah 1994). Penyakit ini terdapat pula di banyak negara seperti di Rusia, Malaysia, Filipina, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan (Semangun 1989; Djatnika 1993).
Penyakit akar pekuk dapat menyerang bermacam tumbuhan dari familia Cruciferae, baik tanaman pertanian maupun tanaman liar. Kerugian yang ditimbulkannya dapat sangat besar, karena pertanaman sama sekali tidak memberikan hasil yang dapat dijual (Semangun 1989). Di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan, kerusakan pada tanaman dari familia Cruciferae yang diakibatkan oleh penyakit akar pekuk berkisar antara 50-100%. Di Indonesia, kerugiannya ditaksir mencapai Rp. 2,8 milyar setiap musim (Djatnika 1993).
a. Penyebab penyakit
Menurut Semangun (1989) dan Djatnika (1993), penyakit ini disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae Wor. yang termasuk klas jamur lendir. Jamur membentuk spora tahan yang berbentuk bulat, hialin, dan garis tengahnya dapat mencapai 4 μm. Spora tahan ini dapat berkecambah dalam medium yang sesuai, membengkak sampai mencapai ukuran beberapa kali dari ukuran semula, dan biasanya menjadi satu spora kembara (zoospora). Spora kembara ini telanjang (tidak berdinding sel), merupakan protoplas berinti satu, biasanya sangat aktif dan bergerak seperti amuba. Spora kembara mempunyai dua bulu cambuk (flagellum), yang satu panjang dan satunya lagi pendek.
Sampai sekarang belum diketahui pasti dengan cara bagaimana infeksi terjadi (Semangun 1989). Di dalam akar tanaman, badan jamur yang disebut plasmodium selalu berada di dalam sel tumbuhan inang. Plasmodium mempunyai beberapa inti sampai banyak inti, tidak pernah mempunyai dinding sendiri, dan tidak pernah membentuk di sekitar inti, dan terbentuklah spora tahan yang bebas satu sama lain. Mereka ini ditahan oleh dinding sel sampai dinding sel terurai oleh jasad sekunder di dalam tanah (Walker 1952).
b. Daur hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit akar pekuk
Menurut Semangun (1989), spora tahan akan terbebas dari akar sakit jika akar ini terurai oleh jasad-jasad sekunder. Spora ini dapat segera tumbuh, tetapi dapat juga bertahan sangat lama. Sampai sekarang tidak ada bukti bahwa jamur dapat hidup sebagai saprofit dalam tanah tetapi tanah tetap terinfeksi oleh jamur selama 10 tahun atau lebih, meskipun di situ tidak terdapat tumbuhan inang.
Penyebab penyakit ini dapat tersebar setempat oleh air drainase, alat-alat pertanian, tanah yang tertiup angin, hewan, dan bibit-bibit. Menurut Suryaningsih (1981), pupuk kandang dapat menyebarkan penyakit ini, karena sisa-sisa kubis biasanya dipakai petani untuk
c. Gejala penyakit dan akibat serangan
Menurut laporan Djatnika (1993), tanaman kubis yang terserang oleh P.brassicae akan jelas terlihat pada keadaan cuaca panas atau siang hari yang terik, yaitu daun-daunnya layu seperti kekurangan air. Namun, pada malam hari atau pagi hari akan menjadi segar kembali. Lambat laun pertumbuhan tanaman terhambat hingga kerdil dan tanaman kubis tidak dapat membentuk krop dan akhirnya mati (Gambar 6).
Gambar 6. Gejala visual serangan penyakit akar pekuk pada tanaman kubis (Foto : S.Sastrosiswojo)




Akar-akar yang terinfeksi jamur penyebab penyakit ini akan mengadakan reaksi dengan pembelahan dan pembesaran sel, yang menyebabkan terjadinya bintil atau kelenjar yang tidak teratur. Seterusnya bintil-bintil ini bersatu, sehingga menjadi bengkakan memanjang yang mirip dengan batang atau gada (Semangun 1989; Djatnika 1993).
Rusaknya susunan jaringan akar menyebabkan rusaknya jaringan pengangkut, sehingga pengangkutan air dan hara tanah terganggu. Tanaman tampak merana, daun-daun berwarna hijau kelabu, dan lebih cepat menjadi layu daripada daun-daun sehat. Meskipun demikian, dalam banyak kejadian akar-akar sudah sangat rusak pada saat gejala pada bagian di atas tanah mulai tampak (Semangun 1989). Dalam lingkungan yang basah, akar-akar akan diserang oleh jasad-jasad sekunder, sehingga akar atau seluruh sistem perakaran busuk sama sekali (Suhardi et al. 1976).
2.1.6. Busuk basah
Busuk basah atau busuk lunak (soft rot) adalah penyakit yang merugikan pada tanaman sayuran, termasuk kubis dan kerabatnya, baik di lapangan maupun di dalam penyimpanan serta pengangkutan sebagai penyakit pascapanen (Semangun 1989; Djatnika 1993). Penyakit ini tersebar umum di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Busuk basah merupakan penyakit yang penting di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
a. Penyebab penyakit
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora pv. carotovora (Jones) Dye, 1978, yang dahulu lazim disebut sebagai Erwinia carotovora (Jones) Holland (Semangun 1989; Djatnika 1993). Bakteri berbentuk batang yang berukuran 0,7 μm x 1,5 μm, mempunyai bulu cambuk 2,6 peritrich, tidak membentuk spora atau kapsula, bersifat gram negatif, dan bersifat aerob fakultatif (Semangun 1989). Bakteri menghasilkan enzim pektinase yang dapat menguraikan pektin (yang berfungsi untuk merekatkan dinding-dinding sel yang berdampingan). Dengan terurainya pektin, sel-sel akan lepas satu sama lain.
b. Daur hidup dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit
Menurut Semangun (1989), bakteri E. carotovora dapat menyerang bermacam-macam tanaman hortikultura. Bakteri ini juga dapat mempertahankan diri di dalam tanah dan di dalam sisa-sisa tanaman di lapangan.
Pada umumnya, infeksi terjadi melalui luka atau lentisel. Infeksi dapat terjadi melalui luka-luka karena gigitan serangga atau karena alat-alat pertanian. Larva dan imago lalat buah (Bactrocera spp.) dapat menularkan bakteri, karena serangga ini membuat luka dan mengandung bakteri di dalam tubuhnya (Semangun 1989). Di dalam simpanan dan pengangkutan, infeksi terjadi melalui luka karena gesekan dan sentuhan antara bagian tanaman yang sehat dengan yang sakit.
Pembusukan karena serangan penyakit ini berlangsung dengan cepat dalam udara yang lembab dan pada suhu yang relatif tinggi. Dalam lingkungan demikian, dalam waktu singkat seluruh bagian tanaman yang terinfeksi membusuk, sehingga mati. Menurut Sunarjono (1980) dalam Semangun (1989), kerugian yang ditimbulkan oleh serangan penyakit ini pada tanaman di dataran rendah lebih besar daripada di dataran tinggi.
c. Gejala penyakit dan akibat serangan
Menurut Semangun (1989) dan Djatnika (1993), gejala yang umum terdapat pada tanaman kubis dan kerabatnya adalah busuk basah, berwarna coklat atau kehitaman pada daun, batang, dan umbi. Menurut Djatnika (1993), tanaman kubis yang terserang E. carotovora memperlihatkan gejala busuk berwarna hitam pada daun-daun pembungkus krop. Pembusukan juga terjadi pada pangkal krop, sehingga krop mudah dilepas dari batang kubis (Gambar 7).
Gambar 7.Gejala visual serangan penyakit busuk basah (busuk lunak) pada tanaman kubis (Foto : S. Sastrosiswojo)


Pada bagian yang terinfeksi mula-mula terjadi bercak kebasahan. bercak membesar dan mengendap (melekuk), bentuknya tidak teratur, berwarna coklat tua kehitaman. Jika kelembaban tinggi, jaringan yang sakit tampak kebasahan, berwarna krem atau kecoklatan, dan tampak agar berbutir-butir halus. Di sekitar bagian yang sakit terjadi pembentukan pigmen coklat tua atau hitam. Jaringan yang membusuk pada mulanya tidak berbau. Namun, dengan adanya serangan bakteri sekunder, jaringan tersebut menjadi berbau khas yang menusuk hidung.
2.2 Pengendalian penyakit secara umum
Pengendalian penyakit secara umum Biokontrol penyakit take-all (Gaeumannomyces graminis var. tritici) oleh Trichoderma spp. Dan Pseudomonas fluorescens. Trichoderma (T. viride, T. harzianum, T. hamatum, T. koningii) merupakan fungi antagonis untuk mengendalikan berbagai patogen tanaman. Mekanisme pengendalian umumnya melalui parasitisme dan antibiosis.


BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Penerapan PHT pada tanaman kubis bertujuan untuk : (1) secara ekologis menjaga kelestarian lingkungan, karena pengendalian OPT dilakukan dengan berwawasan lingkungan; dan (2) secara ekonomi menguntungkan karena pengurangan biaya produksi yang banyak, khususnya biaya penggunaan pupuk dan pestisida. Untuk mengetahui besarnya keuntungan penerapan PHT pada usahatani kubis dibandingkan dengan sistem konvensional (tradisional) yang menekankan pengendalian OPT pada penggunaan pestisida secara intensif, perlu dilakukan analisis ekonomi secara sederhana.




DAFTAR PUSTAKA
Djatnika, I. 1993. Penyakit-penyakit tanaman kubis dan cara pengendalian. Dalam A.H. Permadi  
& S. Sastrosiswojo (Penyunting). Kubis. Edisi Pertama : 51-61. Kerjasama Balithort Lembang dengan Program Nasional PHT, BAPPENAS.
Mudjiono, G. & Nurimah. 1994. Teknologi pengendalian hama terpadu pada sayuran dataran
tinggi di Kabupaten DT II Malang dan Magetan. Dalam Sasromarsono, S., K. Untung, S. Sastrosiswojo, E.D. Darmawan, Y. Soejitno, A. Rauf & G. Mudjiono (Penyunting). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu. h. 395-420. Lembang, 27-28 Januari 1994. BAPPENAS-Badan Litbang Pertanian.

Anonim. 2013.pengertian pengendalian hama terpadu. http://jurnalorganik.blogspot.com. Diakses pada                      13 mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar